Selasa, 16 Oktober 2012

Resensi Buku Soe Hok Gie


Author:
Soe Hok Gie
(resensi itu saya temukan ketika melakukan search di internet. sengaja saya post ini sebagai dokumentasi saya, sebagai bahan bacaan saya, suatu saat)

Resensi Buku Soe Hok Gie oleh Arief Budiman

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini.

Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya.
Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu
peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain juga yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya.Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini.Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi.Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya.Dan kritik-kritik saya tidsak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian".

Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di
koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibu saya sering gelisah dan berkata: " Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang".Terhadap ibu dia Cuma tersenyum dan berkata "Ah, mama tidak mengerti".

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis.Tapi orangtuanya tidak
setuju - mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah
seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie berkata: "Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya.Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya". Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: "Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan
lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti
kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan".

Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau
berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa.

Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib.Herman lantang.
Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru.Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: "Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu".
Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya adalah apakah hidupnya sia-sia saja?Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab "Tidak.Mengapa?" Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut.

"Soe Hok Gie yang suka menulis di koran? Dia bertanya.Teman saya mengiyakan.Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis.Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab " Dia orang berani. Sayang dia meninggal".

Jenazah dibawa pleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian
ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan
rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami
bercakap-cakap.Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah
jenazah Soe Hok Gie.Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal
namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya.Sayang sekali dia meninggal.
Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus". Saya memandang ke
arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang ini dan hayalan sayamencoba
menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan
dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya.Di rumah di Jalan
Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang.Penerangan listrik
suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak
nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara
mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk
itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan
bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh
seorang tukang peti mati di Malang?
Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan
di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara
jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa
suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena
kekuasaan membungkamkannya.Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan
dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih
memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak", meskipun Cuma di dalam
hatinya.

Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang.
Kami segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya.
Di dalam hati saya berbisik "Gie, kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah
Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu.
Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.

Arief Budiman (Soe Hok Djin)
(seperti dimuat dalam buku Catatan Seorang Demonstran edisi 1993)

---
(Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia angkatan 60-an. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA-nya di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi:
蘇福義).

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Satya Wacana yang juga dikenal vokal.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie. (wikipedia.com)

Tidak ada komentar: