MUNCULNYA
EPISTEMOLOGI KIRI POSTMODERN
(Amkayus, S.Pd.)
Apa yang membedakan tangan kiri dan tangan kanan? Kebanyakan
orang memandang bahwa fungsi tangan kanan lebih mulia ketimbang tangan kiri. Satu contoh, tangan kanan
dibiasakan untuk menulis, makan, memberi sedekah, sedangkan tangan kiri
biasanya digunakan untuk mengupil dan membersihkan kotoran. Lantas mengapa atau apa
hubungannya dengan istilah Lenin tentang kiri kekanak-kanakan? Apakah yang
dewasa itu selalu kanan? Atau jangan- jangan, kita telah terhegemoni dengan
kebiasaan tersebut yang membuat kita mengerdilkan fungsi sebenarnya tangan
kiri.
Sejarah istilah kiri secara politis dimulai pada tahun
1878 setelah revolusi Prancis, kiri adalah tempat duduk parlemen yang dihuni
oleh kalangan penentang Raja, sedangkan kanan pendukung Istana, sementara yang
tengah adalah kalangan Moderat. Istilah kiri mengalami perkembangan semenjak
munculnya Karl Marx yang mengilmiahkan sosialisme dan meradikalkan komunisme.
Kemudian diteruskan anak muridnya seperti Lenin, Stalin,
Rosa Luxemburg maupun Tan Malaka. Dari sini, kiri diidentikan dengan gerakan
Komunis, Sosialis, maupun Anarkis. Namun, ketika Partai Komunis berkuasa di
Rusia awal abad 20, ternyata kiri yang sering didengung-dengungkan sebagai
gerakan atau pemikiran yang antikemapanan, anti-status quo, antipenindasan dan
menegakkan keadilan dengan membela rakyat kecil, telah balik menghegemoni buruh
dan petani untuk kepentingan partai dan kemakmuran pemegang kekuasaan negara.
Para elite partai dan politikus di Rusia masa itu
melakukan tindakan teror dan pembunuhan pada rakyat agamis untuk meninggalkan
agamanya dan harus menganut ideologi Komunis. Intelektual-intelektual
kontemporer seperti Jurgen Habermas, Michel Foucault, Hasan Hanafi, mulai
memikirkan ulang apakah benar kiri itu harus identik atau disimbolkan dengan
komunis? Karena menurut mereka, kiri itu hakikatnya adalah pembacaan ulang
secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan yang kemudian
diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya, dengan meminggirkan kebenaran
lain. Kiri
akan menjadi gerakan sosial ketika penunggalan kebenaran itu dipraktekkan dalam
sebuah sistem politik kewarganegaraan yang memaksa rakyat untuk tunduk digusur,
taat membayar pajak, dinaikkan harga listrik, tapi diturunkan harga beras dan
sayur-mayur, menerima dipecat dari tempat kerjanya sebagai bentuk rasionalisasi
perusahaan, di lain pihak diwajibkan menghapalkan sila-sila dalam Pancasila
ataupun diwajibkan utuk mencoblos dalam pemilu ketika partai-partai yang ada
tidak merepresentasikan tuntutan reformasi.
Akhirnya, membedah kiri berikut historitas antara teori
dan praktiknya sebenarnya menarik untuk kita saat ini, karena kiri tidak lagi
identik dengan komunis tapi kiri itu bisa muncul dari agama ataupun dunia
pendidikan. Ini
kemudian yang terlihat ketika membaca buku ini secara cermat, yang memfokuskan
kajian epistemologi kiri dari tokoh-tokoh yang menentang modernitas dalam
menyusun asumsi dasar epistemologi sebuah pengetahuan dengan mengagung-agungkan
positifitas dan penunggalan obyek dan metodenya. Dan ini sebenarnya penting
diketahui oleh Orde Baru dan rezim reformasi saat ini, yang selalu
mengidentikkan kiri sebagai tak bertuhan dan selalu berbuat anarkisme.
Karl Marx walaupun lahir dalam abad pertama munculnya
modernitas dan gerakan awal kapitalisme Eropa dengan ekspansi dan perdagangan,
menolak untuk bersikap seperti para filsuf sezamannya bahkan mengkritik filsuf
besar Hegel, yang menurutnya para filsuf itu kerjanya hanya ribut dan debat
kusir tentang menafsirkan dunia yang indah itu bagaimana.
Dari Marx kita memperoleh pelajaran orang pintar itu
tidak cukup hanya berbicara di seminar-seminar dan menulis suatu pendapat yang
ilmiah, tapi juga harus terjun ke masyarakat untuk tahu kondisi sebenarnya dan
tahu bagaimana mengatasi masalah secara nyata.
Lain halnya dengan Nietzsche yang melakukan pembalikan
total atas nilai kebenaran yang dianggap kekal oleh masyarakat akademis dan
agamis di sekitarnya. Nietzsche melihat kebenaran hakiki di dunia itu
sebenarnya tidak ada. Tapi mengapa cendekiawan itu bisa memediasi kebenaran
melalui akal?
Menurut
Nietzsche hal itu karena mereka sebenarnya hendak berkuasa dengan mengetahui
akan kebenaran sehingga orang-orang itu bisa mengaplikasikan kebenaran pada
realitas itu menurut sekehendaknya pada orang-orang bodoh.
Buku ini kemudian membahas pemikiran para penerus
(penafsir Marxisme), yaitu intelektual asal Italia, Antonio Gramsci. Ia yang
mengagagas hegemoni kekuasaan yang baru bukanlah hanya represif tapi juga
melalui manipulasi budaya dan kesadaran, yang mana belum dibahas oleh Karl Marx
secara cermat. Ini kemudian yang dikembangkan oleh Michael Foucault dalam
melihat kekuasaan bukan lagi sebagai politik, tapi kekuasaan adalah nama yang
diberikan pada situasi strategis, yang rumit yang terdapat dalam masyarakat dan
kurun tertentu.
Marx Hoekeimer, Herbet Marcuse, dan Jurgen Habermas
merupakan tokoh- tokoh teori kritis yang mengkritik rasio instrumen, rasio
teknis, di mana yang menjadikan rasio yang dulunya melakukan perlawanan
terhadap mitos, kini mengabdi pada kekuasaan negara, kapitalisme perdagangan.
Di sinilah mereka mengkritik penunggalan dimensi manusia,
dan menggagas pentingnya masyarakat komunikatif dan kritis. Dari tokoh- tokoh
inilah muncul istilah gerakan kiri baru di Amerika pada tahun 1960- an.
Tokoh-tokoh Poststrukturalis, Postmodernis, seperti
Michael Foucault, Paul K. Feyerabendm dan Jacgues Derrida, melakukan gerakan
dekonstruksi, pembongkaran teksm dan menyerang metode modernitas dalam menyusun
pengetahuan dan pelegitimasian atas kekuasaan untuk melanggengkan
ketidakadilan. Di
sinilah mereka menerapkan pluralisme teori dan metodologi, yang menurut mereka
justru akan memajukan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dicapai dengan
mengikuti teori tunggal.
Buku ini semakin menarik untuk dibaca karena memunculkan
pemikiran dan gerakan kiri dari dunia pendidikan dan agama. Dalam dunia pendidikan
buku ini mengambil tokoh Paulo Freire yang menggagas tentang pendidikan untuk
kaum tertindas. Sementara dari agama memunculkan konsep oksidentalisme dari
Hasan Hanafi, pembacaan teks suci secara kritis oleh Mohammed Arkoun dan
teologi pembebasan agama-nya Asghar Ali Egineer.
Epistemologi sebagai bentuk pengetahuan dari upaya
intelektual untuk "menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya",
dengan mengetengahkan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan manusia baik obyek
dan metode pendekatannya. Maka apa yang disimpulkan dari buku Epistemologi kiri
ini mencerminkan perkembangan dari gerakan dan pemikiran kiri kontemporer
(postmoderen) yang mengkerucut pada persoalan dari lahir, susunan dan
konsekuensi proyek modernitas dengan sistem totaliarianisme pada sistem ekonomi
dan politik, haruslah dirubah secara fundamnetal dan revolusioner.
Namun,
sayangnya buku ini karena memang seperti dikatakan oleh editornya Listiono
Santoso merupakan kumpulan makalah filsafat di Progam Pasca Sarjana UGM,
bukanlah gagasan yang sistematis tentang konteks lahirnya epistemologi kiri
berikut perkembangan mutakhirnya, apalagi analisis jenis epistemologi yang mana
cara kerjanya, apakah Nietzsche dan Feyerabend termasuk skeptisme mutlak atau
relatif menjadi pertanyaan. Tapi
semangat kiri yang ada dalam buku ini memang layak dijadikan referensi kita
untuk mengaktualisaikan kehidupan dengan dasar kemanusiaan, kemajuan
pembaharuan, dan proses yang tidak boleh berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar