Selasa, 22 Januari 2013

PENYUTRADARAAN

Pada mulanya pementasan teater tidak mengenal sutradara.
Pementasan teater muncul dari sekumpulan pemain yang memiliki
gagasan untuk mementaskan sebuah cerita. Kemudian mereka berlatih
dan memainkkannya di hadapan penonton. Sejalan dengan kebutuhan
akan pementasan teater yang semakin meningkat, maka para aktor
memerlukan peremajaan pemain. Para aktor yang telah memiliki banyak
pengalaman mengajarkan pengetahuannya kepada aktor muda. Proses
mengajar dijadikan tonggak awal lahirnya “sutradara”. Dalam terminologi
Yunani sutradara (director) disebut didaskalos yang berarti guru dan pada
abad pertengahan di seluruh Eropa istilah yang digunakan untuk seorang
sutradara dapat diartikan sebagai master.
Istilah sutradara seperti yang dipahami dewasa ini baru muncul
pada jaman Geroge II. Seorang bangsawan (duke) dari Saxe-Meiningen
yang memimpin sebuah grup teater dan menyelenggarakan pementasan
keliling Eropa pada akhir tahun 1870-1880. Dengan banyaknya jumlah
pentas yang harus dilakukan, maka kehadiran seorang sutradara yang
mampu mengatur dan mengharmonisasikan keseluruhan unsur artistik
pementasan dibutuhkan. Meskipun demikian, produksi pementasan
teater Saxe-Meiningen masih mengutamakan kerja bersama antarpemain
yang dengan giat berlatih untuk meningkatkan kemampuan berakting
mereka (Robert Cohen, 1994).
Model penyutradaraan seperti yang dilakukan oleh George II
diteruskan pada masa lahir dan berkembangnya gaya realisme. Andre
Antoine di Perancis dengan Teater Libre serta Stansilavsky di Rusia
adalah dua sutradara berbakat yang mulai menekankan idealisme dalam
setiap produksinya. Max Reinhart mengembangkan penyutradaraan
dengan mengorganisasi proses latihan para aktor dalam waktu yang
panjang. Gordon Craig merupakan seorang sutradara yang menanamkan
gagasannya untuk para aktor sehingga ia menjadikan sutradara sebagai
pemegang kendali penuh sebuah pertunjukan teater (Herman J. Waluyo,
2001). Berhasil tidaknya sebuah pertunjukan teater mencapai takaran
artistik yang diinginkan sangat tergantung kepiawaian sutradara. Dengan
demikian sutradara menjadi salah satu elemen pokok dalam teater
modern.
Oleh karena kedudukannya yang tinggi, maka seorang sutradara
harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan
pementasan. Oleh karena itu, kerja sutradara dimulai sejak
merencanakan sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu
tugas berikutnya adalah menganalisis lakon, menentukan pemain,
menentukan bentuk dan gaya pementasan, memahami dan mengatur
blocking serta melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan
97
seluruh pekerja artistik hingga karya teater benar-benar siap untuk
dipentaskan.
1. Menentukan Lakon
Proses atau tahap pertama yang harus dilakukan oleh sutradara
adalah menentukan lakon yang akan dimainkan. Sutradara bisa memilih
lakon yang sudah tersedia (naskah jadi) karya orang lain atau membuat
naskah lakon sendiri.
1.1 Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang sudah tersedia memiliki
kerumitan tersendiri terutama pada saat hendak memilih naskah yang
akan dipentaskan. Nskah tersebut harus memenuhi kreteria yang
diinginkan serta sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Ada
beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan oleh sutradara dalam
memilih naskah, seperti tertulis di bawah ini.
Sutradara menyukai naskah yang dipilih. Jika sutradara
memilih naskah yang akan ditampilkan dalam keadaan
terpaksa maka bisa dipastikan hasil pementasan menjadi
kurang baik. Naskah yang tidak dikehendaki akan membawa
pengaruh dan masalah tersendiri bagi sutradara dalam
mengerjakannya, seperti analisis yang kurang detil, pemilihan
pemain yang asal-asalan, keseluruhan kerja menjadi tidak
optimal.
Sutradara merasa mampu mementaskan naskah yang telah
dipilih. Mampu mementaskan sebuah naskah tentunya tidak
hanya berkaitan dengan kecakapan sutradara, tetapi juga
dengan unsur pendukung yang lain. Semua sumber daya
dimiliki seperti pemain, penata artsitik, dan pendanaan
menjadi pertimbangan dalam memilih naskah yang akan
dipentaskan.
Sutradara wajib mempertimbangkan sisi pendanaan secara
khusus. Beberapa naskah yang baik terkadang memiliki
konsekuensi logis dengan pendanaan. Misalnya, naskah yang
dipilih memoiliki latar cerita di rumah mewah dengan segala
perabot yang indah. Hal ini membawa dampak tersendiri
dalam bidang pendanaan. Jika sutradara merasa mampu
mengusahakan pendanaan secara optimal untuk mewujudkan
tuntutan artistik lakon, maka naskah tersebut bisa dipilih. Jika
tidak, sutradara harus mampu melakukan adaptasi sehingga
pendanaan bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai artistik
lakon.
Sutradara mampu menemukan pemain yang tepat. Naskah
lakon yang baik tidak ada gunanya jika dimainkan oleh aktor
yang kurang baik. Oleh karena itu, sutradara harus mampu
98
mengukur kualitas sumber daya pemain yang dimiliki dalam
menentukan naskah yang akan dipentaskan.
Sutradara mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih.
Tidak ada gunanya berlatih naskah lakon tertentu dalam waktu
lama jika di tengah proses tiba-tiba hal itu terhenti karena
alasan tertentu. Sutradara dengan segenap kemampuannya
harus mampu meyakinkan pemain dan mengusahakan
pertunjukan agar tetap digelar sehingga proses yang telah
dilakukan tidak menjadi sia-sia.
1.2 Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak menguntungkan karena akan
memperpanjang proses pengerjaan. Akan tetapi berkenaan dengan
sumber daya yang dimiliki, membuat naskah sendiri dapat menjadi pilihan
yang tepat. Untuk itu, sutradara harus mampu membuat naskah yang
sesuai dengan kualitas sumber daya yang ada. Naskah semacam ini
bersifat situasional, tetapi semua orang yang terlibat menjadi senang
karena dapat mengerjakannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Beberapa langkah di bawah ini dapat dijadikan acuan untuk menulis
naskah lakon.
Menentukan tema. Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan
yang akan disampaikan oleh pengarang kepada penonton. Tema,
akan menuntun laku cerita dari awal sampai akhir. Misalnya tema
yang dipilih adalah “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”,
maka dalam cerita hal tersebut harus dimunculkan melalui aksi
tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat menangkap maksud
dari cerita bahwa sehebat apapun kejahatan pasti akan
dikalahkan oleh kebaikan.
Menentukan persoalan. Persoalan atau konflik adalah inti dari
cerita teater. Tidak ada cerita teater tanpa konflik. Oleh karena itu
pangkal persoalan atau titik awal konflik perlu dibuat dan
disesuaikan dengan tema yang dikehendaki. Misalnya dengan
tema “kebaikan akan mengalahkan kejahatan”, pangkal persoalan
yang dibicarakan adalah sikap licik seseorang yang selalu
memfitnah orang lain demi kepentingannya sendiri. Persoalan ini
kemudian diikembangkan dalam cerita yang hendak dituliskan.
Membuat sinopsis (ringkasan cerita). Gambaran cerita secara
global dari awal sampai akhir hendaknya dituliskan. Sinopsis
digunakan pemandu proses penulisan naskah sehingga alur dan
persoalan tidak melebar. Dengan adanya sinopsis maka
penulisan lakon menjadi terarah dan tidak mengada-ada.
Menentukan kerangka cerita. Kerangka cerita akan membingkai
jalannya cerita dari awal sampai akhir. Kerangka ini membagi
jalannya cerita mulai dari pemaparan, konflik, klimaks sampai
penyelesaian. Dengan membuat kerangka cerita maka penulis
99
akan memiliki batasan yang jelas sehingga cerita tidak berteletele.
William Froug (1993) misalnya, membuat kerangka cerita
(skenario) dengan empat bagian, yaitu pembukaan, bagian awal,
tengah, dan akhir. Pada bagian pembukaan memaparkan sketsa
singkat tokoh-tokoh cerita. Bagian awal adalah bagian
pengenalan secara lebih rinci masing-masing tokoh dan titik
konflik awal muncul. Bagian tengah adalah konflik yang
meruncing hingga sampai klimaks. Pada bagian akhir, titik balik
cerita dimulai dan konflik diselesaikan. Riantiarno (2003),
sutradara sekaligus penulis naskah Teater Koma, menentukan
kerangka lakon dalam tiga bagian, yaitu pembuka yang berisi
pengantar cerita atau sebab awal, isi yang berisi pemaparan,
konflik hingga klimaks, dan penutup yang merupakan simpulan
cerita atau akibat.
Menentukan protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
membawa laku keseluruhan cerita. Dengan menentukan tokoh
protagonis secara mendetil, maka tokoh lainnya mudah
ditemukan. Misalnya, dalam persoalan tentang kelicikan, maka
tokoh protagonis dapat diwujudkan sebagi orang yang rajin,
semangat dalam bekerja, senang membantu orang lain,
berkecukupan, dermawan, serta jujur. Semakin detil sifat atau
karakter protagonis, maka semakin jelas pula karakter tokoh
antagonis. Dengan menulis lawan dari sifat protagonis maka
karakter antagonis dengan sendirinya terbentuk. Jika tokoh
protagonis dan antagonis sudah ditemukan, maka tokoh lain baik
yang berada di pihak protagonis atau antagonis akan mudah
diciptakan.
Menentukan cara penyelesaian. Mengakhiri sebuah persoalan
yang dimunculkan tidaklah mudah. Dalam beberapa lakon ada
cerita yang diakhiri dengan baik tetapi ada yang diakhiri secara
tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung mengakhirinya. Akhir
cerita yang mengesankan selalu akan dinanti oleh penonton. Oleh
karena itu tentukan akhir cerita dengan baik, logis, dan tidak
tergesa-gesa.
Menulis. Setelah semua hal disiapkan maka proses berikutnya
adalah menulis. Mencari dan mengembangkan gagasan memang
tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah lagi memindahkan gagasan
dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, gunakan dan manfaatkan
waktu sebaik mungkin.
2. Analisis Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu tugas utama sutradara.
Lakon yang telah ditentukan harus segera dipelajari sehingga gambaran
100
lengkap cerita didapatkan. Dengan analisis yang baik, sutradara akan
lebih mudah menerjemahkan kehendak pengarang dalam pertunjukan.
2.1 Analisis Dasar
Analisis dasar adalah telaah unsur-unsur pokok yang membentuk
lakon. Dalam proses analisis ini, sutradara memepelajari seluruh isi lakon
dan menangkap gambaran lengkap lakon seperti apa yang tertulis. Jadi,
dalam tahap ini sutradara hanya membaca kehendak pengarang melalui
lakonnya. Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara adalah
senagai berikut.
Pesan Lakon. Merupakan bahan komunikasi utama yang
hendak disampaikan kepada penonton. Berhasil atau tidaknya
sebuah pertunjukan teater diukur dari sampai tidaknya pesan
lakon kepada penonton. Oleh karena itu, sutradara wajib
menemukan pesan utama dari lakon yang telah ditentukan.
Apa yang hendak disampaikan oleh pengarang melalui
naskah lakon disebut pesan. Romeo and Juliet karya
Shakespeare mengandung pesan bahwa seseorang yang
telah menemukan cinta sejati tidak takut terhadap risiko
apapun termasuk mati. Pesan ini ingin disampaikan oleh
pengarang dengan akhir yang tragis dimana tokoh Romeo dan
Juliet akhirnya mati bersama. Dinamika percintaan Romeo
dan Juliet yang berakhir dengan kematian inilah yang harus
ditekankan oleh sutradara kepada penonton.
Konflik dan Penyelesaian. Penting mengetahui dasar
persoalan (konflik) dalam sebuah lakon karena hal tersebut
akan membawa laku aksi para tokohnya. Di bagian mana
konflik itu muncul dan bagaimana aksi dan reaksi para
tokohnya, pada bagian mana konflik itu memuncak, dan pada
akhirnya bagaimana konflik itu diselesaikan. Semua ini akan
memberi sudut pandang bagi sutradara dalam melihat,
menilai, dan memahami konflik lakon. Selain itu sudut
pandang pengarang dalam menyelesaikan konflik dapat
menegaskan pesan yang hendak disampaikan.
Karakter Tokoh. Analisis karakter tokoh sangat penting dan
harus dilakukan secara mendetil agar sutradara mendapatkan
gambaran watak sejelas-jelasnya. Karena tidak banyak
arahan dan keterangan yang dituliskan mengenai karakter
tokoh dalam sebuah lakon, maka sutradara harus
menggalinya melalui kalimat-kalimat dialog. Perjalanan
sebuah karakter terkadang tidak mengalami perubahan yang
berarti tetapi beberapa tokoh dalam lakon (biasanya
protagonis dan antagonis) bisa saja mengalami perubahan.
Oleh karena itu analisis karakter ini harus dilakukan dengan
101
teliti dan hati-hati sehingga setiap perubahan karakter yang
dialami oleh tokoh tidak lepas dari pengamatan sutradara.
Latar Cerita. Gambaran tempat kejadian, peristiwa, dan waktu
kejadian harus diungkapkan dengan jelas karena hal ini
berkaitan dengan tata artistik. Untuk mewujudkan keadaan
peristiwa seperti dikehendaki lakon di atas panggung maka
informasi yang jelas mengenai latar cerita harus didapatkan.
Misalnya, gambaran tempat kejadian persitiwa adalah di
sebuah gedung maka harus dijelaskan apakah terjadi di
sebuah gedung megah, sederhana atau mewah. Apakah
gedung tersebut merupakan gedung pertemuan, dewan kota,
museum, atau gedung pertunjukan. Di gedung tersebut cerita
terjadi di ruang aula, teras gedung, dapur umum, atau di salah
satu ruang khusus. Arsitektur gedung itu apakah
menggunakan arsitektur kolonial, gaya spanyol, atau ciri khas
daerah tertentu. Intinya informasi sekecil apapun harus
didapatkan. Hal ini berlaku juga untuk latar peristiwa dan
waktu. Semua informasi dikumpulkan dan diseleksi untuk
kemudian diwujudkan dalam pementasan. Dengan demikian
penonton akan mendapatkan gambaran yang jelas latar cerita
yang dimainkan.
2.2 Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan mendapatkan informasi lengkap
mengenai lakon, maka sutradara perlu melakukan tafsir atau interpretasi.
Berdasarkan hasil analisis, sutradara memberi sentuhan dan atau
penyesuaian artistik terhadap lakon yang akan dipentaskan. Proses ini
bisa disebut sebagai proses asimilasi (perpaduan) antara gagasan
sutradara dan pengarang. Seorang sutradara sebetulnya boleh tidak
melakukan interpretasi terhadap lakon, artinya, ia hanya sekedar
melakukan apa yang dikehendaki oleh lakon apa adanya sesuai dengan
hasil analisis. Akan tetapi sangat mungkin seorang sutradara memiliki
gagasan astistik tertentu yang akan ditampilkan dalam pementasan
setelah menganalisa sebuah lakon. Proses interpretasi biasanya
menyangkut unsur latar, pesan, dan penokohan.
Latar. Adaptasi terhadap tempat kejadian peristiwa sering
dilakukan oleh sutradara. Secara teknis hal ini berkaitan
dengan sumber daya yang dimiliki. Misalnya, dalam lakon
mengehendaki tempat kejadian di sebuah apartemen yang
mewah, tetapi karena ketersediaan sumber daya yang kurang
memadahi maka bentuk penampilan apartemen mewah
disesuaikan. Secara artistik, sutradara dapat menafsirkan
tempat kejadian secara simbolis. Misalnya, apartemen mewah
disimbolkan sebagai pusat kekuasaan maka tata
panggungnya disesuaikan dengan simbolisasi tersebut. Ketika
102
adaptasi ini dilakukan maka unsur-unsur lain pun seperti tata
rias dan busana akan ikut terkait dan mengalamu
penyesuaian. Penyesuaian inipun berkaitan langsung dengan
latar waktu dan peristiwa. Jika apartemen disimbolkan sebagai
pusat kekuasaan maka peristiwa yang terjadi di dalamnya juga
harus mengikuti simbolisasi ini sedangkan latar waktunya bisa
ditarik ke masa lalu atau masa kini seperti yang dikehendaki
oleh sutradara. Oleh karena itulah pentas teater dengan lakonlakon
yang sudah berusia lama seperti Oedipus, Antigone,
Romeo and Juliet masih aktual dipentaskan sekarang ini.
Pesan. Hal yang paling menarik mengenai penyampaian
pesan kepada penonton adalah caranya. Cara menyampaikan
pesan antara sutradara satu dengan yang lain bisa berbeda
meskipun lakon yang dipentaskan sama. Cara menyampaikan
pesan ini menjadi titik tafsir lakon yang penting karena pesan
inilah inti dari keseluruhan lakon. Untuk menekankan pesan
yang dimaksud ada sutradara yang memberi penonjolan pada
tata artistik, misalnya warna-warna yang digunakan di atas
panggung. Ada juga sutradara yang menonjolkan laku aksi
aktor di atas pentas sehingga adegan dibuat dan dikerjakan
secara detil. Masing-masing cara penonjolan pesan ini
mempengaruhi unsur-unsur lain dalam pementasan. Dengan
demikian sutradara harus benar-benar memikirkan cara
menyampaikan pesan lakon dengan mempertimbangkan
unsur-unsur lakon dan sumber daya yang dimiliki.
Penokohan. Tafsir ulang terhadap tokoh lakon paling sering
dilakukan. Hal ini biasanya berkaitan dengan isu atau topik
yang sedang hangat terjadi di masyarakat. Tafsir ulang tokoh
tidak hanya sekedar mengubah nama dan menyesuaikan
bentuk penampilan fisik, tetapi juga mental, emosi, dan
keseluruhan watak tokoh. Misalnya, sebuah lakon yang tokohtokohnya
memiliki latar belakang budaya Eropa hendak
diadaptasi ke dalam budaya Indonesia. Banyak hal yang harus
dilakukan selain mengganti nama dan penampilan fisik, yaitu
cara berbicara, gaya berjalan, tata krama, pandangan hidup,
takaran emosi dan cara berpikir. Semuanya memliki
keterkaitan. Misalnya, dalam budaya Eropa orang bepikir
secara bebas sementara orang Indonesia cenderung
mempertimbangkan hal-hali lain (tata krama, pranata sosial) di
luar hal utama yang dipikirkan. Hal ini mempengaruhi hasil
pemikiran dan cara mengungkapkan hasil pikiran tersebut.
Dengan demikian cara pandang sutradara terhadap
keseluruhan lakon pun harus diubah atau mengalami
penyesuaian.
103
2.3 Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis naskah adalah konsep pementasan.
Dalam konsep ini sutradara menjelaskan secara lengkap mengenai cara
menyampaikan pesan yang berkaitah dengan pendekatan gaya
pementasan dan pendekatan pemeranan serta memberikan gambaran
global tata artistik.
Pendekatan gaya pementasan. Seniman teater dunia telah
banyak berusaha melahirkan gaya pementasan. Dewasa ini
hampir tidak bisa ditemukan gaya pementasan murni yang
dihasilkan seorang sutradara atau pemikir teater. Setiap
kelahiran gaya baru memiliki keterkaitan atau perlawanan
terhadap gaya tertentu (baca bagian sejarah teater). Oleh
karena itu, hal yang paling bisa adalah mendekatkan gaya
pementasan dengan gaya tertentu yang sudah ada. Istilah
pendekatan di sini digunakan dalam arti sutradara tidak hanya
sekedar melaksanakan sebuah gaya secara wantah (utuh)
tetapi ada pengembangan atau penyesuaian di dalamnya.
Untuk itu, sutradara harus memahami gaya-gaya pementasan.
Dengan demikian pendekatan yang dilakukan tidak salah
sasaran. Konvensi atau aturan main sebuah pertunjukan
diungkapkan dalam poin ini, misalnya, karena menggunakan
pendekatan gaya presentasional, maka bahasa dialog
antaraktor menggunakan bahasa yang puitis. Gerak laku aktor
distilisasi atau diperindah. Aktor boleh berbicara secara
langsung kepada penonton.
Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan
gaya, maka metode pemeranan yang dilakukan perlu
dituliskan. Hal ini sangat berguna bagi aktor. Metode akting
berkaitan dengan pencapaian aktor (standar) sesuai dengan
pendekatan gaya pementasannya. Misalnya, penggunaan
bahasa puitis dengan sendirinya membuat aktor harus mau
memahami dan melakukan latihan teknik-teknik membaca
puisi agar dalam pengucapan dialog tidak seperti percakapan
sehari-hari. Hal ini mempengaruhi bentuk dan gaya
penampilan aktor dalam beraksi. Sutradara harus membuat
metode tertentu dalam sesi latihan pemeranan untuk
mencapai apa yang dinginkan.
Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara harus
menuliskan gambaran (pandangan) tata artistiknya. Meski
tidak secara mendetil, tetapi gambaran tata artisitk berguna
bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain. Jika
sutradara mampu, maka ia bisa memberikan gambaran tata
artistik melalui sketsa. Jika tidak, maka ia cukup
menuliskannya. Di bawah ini contoh sketsa tata artistik.
104
Gb.48 Contoh sketsa tata panggung
Gambar 48 menunjukkan keinginan sutradara untuk menghadirkan
rumah sederhana di lingkungan yang tandus (berbatu) di atas pentas.
Gb.49 Contoh sketsa tata busana Gb.50 Contoh sketsa tata rias
105
Gambar 49 menunjukkan keinginan sutradara untuk mengkombinasikan
tata busana pelaut dan perompak. Topi dan sepatu yang dikenakan
mengambil bentuk dari busana pelaut sementara jaket dan belati
mengambil dari busana perompak. Dalam gambar 50 sutradara
menginginkan tata rias dan rambut yang natural. Tidak banyak modifikasi.
3. Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah mudah. Dalam sebuah
grup atau sanggar, sutradara sudah mengetahui karakter pemainpemainnya
(anggota). Akan tetapi, dalam sebuah grup teater sekolah
yang pemainnya selalu berganti atau kelompok teater kecil yang
membutuhkan banyak pemain lain sutradara harus jeli memilih sesuai
kualifikasi yang dinginkan. Grup teater tradisional biasanya memilih
pemain sesuai dengan penampilan fisik dengan ciri fisik tokoh lakon,
misalnya dalam wayang orang atau ketoprak. Akan tetapi, dalam teater
modern, memilih pemain biasanya berdasar kecapakan pemain tersebut.
3.1 Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat dijadikan dasar
menentukan peran. Biasanya, dalam lakon yang gambaran tokohnya
sudah melekat di masyarakat, misalnya tokoh-tokoh dalam lakon
pewayangan, penentuan pemain berdasar ciri fisik ini menjadi acuan
utama.
Ciri Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan mimik
aktor. Meskipun kekurangan wajah bisa ditutupi dengan tata
rias, tetapi ciri wajah pemain harus diusahakan semirip
mungkin dengan ciri wajah tokoh dalam lakon. Hal ini
dianggap dapat mampu melahirkan ekspresi wajah yang
natural. Misalnya, dalam cerita Kabayan, maka pemain harus
memiliki ciri wajah yang tampak tolol.
Ukuran Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh
merupakan harga mati bagi sebuah peran. Misalnya, dalam
wayang wong, tokoh Bagong memiliki ukuran tubuh tambun
(gemuk), maka pemain yang dipilih pun harus memiliki tubuh
gemuk. Tidak masuk akal jika Bagong tampil dengan tubuh
kurus.
Tinggi Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh. Tokoh
Werkudara (Bima) harus diperankan oleh orang yang bertubuh
tinggi besar. Sutradara akan diprotes oleh penonton jika
menampilkan Bima bertubuh kurus dan pendek, karena tidak
sesuai dengan karakter dan akan menyalahi laku lakon secara
keseluruhan.
Ciri Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan untuk
menentukan pemain. Misalnya, dalam ketoprak, seorang yang
106
tinggi tapi bungkuk dianggap tepat memainkan peran pendeta.
Seorang yang memiliki kumis, janggut, dan brewok tebal
cocok diberi peran sebagai warok atau jagoan.
3.2 Kecakapan
Menentukan pemain berdasar kecapakan biasanya dilakukan
melalui audisi. Meskipun dalam khasanah teater modern, sutradara dapat
menilai kecakapan pemain melalui portofolio tetapi proses audisi tetap
penting untuk menilai kecakapan aktor secara langsung.
Tubuh. Kesiapan tubuh seorang pemain merupakan faktor
utama. Tidak ada gunanya seorang aktor bermain dengan
baik jika fisiknya lemah. Dalam sebuah produksi yang
membutuhkan latihan rutin dan intens dalam kurun waktu yang
lama ketahanan tubuh yang lemah sangatlah tidak
menguntungkan. Untuk menilai kesiapan tubuh pemain, maka
latihan katahanan tubuh dapat diujikan.
Wicara. Kemampuan dasar wicara merupakan syarat utama
yang lain. Dalam teater yang menggunakan ekspresi bahasa
verbal kejelasan ucapan adalah kunci ketersampaian pesan
dialog. Oleh karena itu pemain harus memiliki kemampuan
wicara yang baik. Penilaian yang dapat dilakukan adalah
penguasan, diksi, intonasi, dan pelafalan yang baik. Dengan
memberikan teks bacaan tertentu, calon aktor dapat dinilai
kemampuan dasar wicaranya.
Penghayatan. Menghayati sebuah peran berarti mampu
menerjemahkan laku aksi karakter peran dalam bahasa verbal
dan ekspresi tubuh secara bersamaan. Untuk menilai hal ini,
sutradara dapat memberikan penggalan adegan atau dialog
karakter untuk diujikan. Calon aktor, harus mampu
menyajikannya dengan penuh penghayatan. Untuk menguji
lebih mendalam sutrdara juga dapat memberikan penggalan
dialog karakter lain dengan muatan emosi yang berbeda.
Kecakapan lain. Kemampuan lain selain bermain peran
terkadang dibutuhkan. Misalnya, seorang calon aktor yang
memiliki kemampuan menari, menyanyi atau bermain musik
memiliki nilai lebih. Mungkin dalam sebuah produksi ia tidak
memenuhi kriteria sebagai pemain utama, tetapi bisa dipilih
sebagai seorang penari latar dalam adegan tertentu. Untuk itu,
portofolio sangat penting bagi seorang aktor profesional.
Catatan prestasi dan kemampuan yang dimiliki hendaknya
ditulis dalam portofolio sehingga bisa menjadi pertimbangan
sutradara.
107
4. Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai keseluruhan
penampilan pementasan. Penting bagi sutradara untuk menentukan
dengan tepat bentuk dan gaya pementasan. Bentuk dan gaya yang dipilih
secara serampangan akan mempengaruhi kualitas penampilan. Kehatihatian
dalam memilih bentuk dan gaya bukan saja karena tingkat
kesulitan tertentu, tetapi latar belakang pengetahuan dan kemampuan
sutradara sangat menentukan. Di bawah ini akan dibahas bentuk dan
gaya pementasan menurut penuturan cerita, bentuk penyajian, dan gaya
penyajian. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta
membutuhkan kecakapan sutradara dalam bidang tertentu untuk
melaksanakannya.
4.1 Menurut Penuturan Cerita
Ada dua jenis pertunjukan teater menurut penuturan ceritanya,
yaitu berdasar naskah lakon dan improvisasi. Teater tradisional biasanya
memilih imporivisasi karena semua pemain telah memahami dengan baik
cerita yang akan dilakonkan dan karakter tokoh yang akan diperankan.
Sebaliknya, teater modern menggunakan naskah lakon sebagai sumber
penuturan. Meskipun beberapa kelompok teater modern tertentu
memperbolehkan improvisasi (biasanya lakon komedi situasi) tetapi
sumber utama dialognya diambil dari naskah lakon.
4.1.1 Berdasar Naskah Lakon
Mementaskan teater berdasarkan naskah lakon menjadi ciri
umum teater modern. Hal ini memiliki kelebihan tersendiri, di antaranya
adalah sebagai berikut.
Durasi waktu dapat ditentukan dengan pasti. Karena dialog
peran sudah ditentukan dan tidak boleh ditambah atau
dikurangi maka durasi pementasan dapat ditentukan. Dari
serangkaian latihan yang dikerjakan secara rutin dan kontinyu
ditambah dengan unsur artistik dan teknis maka lamanya
pertunjukan teater berdasar naskah dapat ditetapkan. Bahkan
dalam produksi teater profesional yang semuanya dirancang
dengan baik, lamanya adegan, perpindahan antaradegan, dan
tanda keluar-masuk ilustrasi musik atau pencahayaan
ditentukan waktunya sehingga setiap detik sangat berharga
dan menentukan berhasil tidaknya pertunjukan tersebut.
Arahan dialog sudah ada. Sutradara tidak perlu menambah
atau mengurangi dialog yang sudah tertulis dalam lakon
kecuali punya keinginan mengadaptasinya. Tugas aktor
adalah menghapalkan dialog tersebut dan mengucapkannya
dalam pementasan. Dalam lakon terkadang arahan emosi
108
berkaitan dengan dialog juga dituliskan sehingga sutrdara
lebih mudah dalam memantau emosi tokoh yang diperankan
aktor.
Arahan laku permainan dapat ditemukan dalam naskah.
Dengan mempelajari naskah, arahan laku permainan dari awal
sampai akhir dapat ditemukan. Dengan demikian, sutradara
mudah dalam membuat perencanaan blocking.
Konflik dan penyelesaian tidak bekembang. Karena tidak ada
impovisasi, maka konflik dan penyelesaian lakon pasti.
Fokus permasalahan telah ditentukan. Sutradara menjadi
mudah menentukan penekanan permasalahan lakon.
Pengembangan yang dilakukan hanyalah persoalan sudut
pandang.
Gambaran bentuk latar kejadian dapat ditemukan dalam
naskah. Lakon telah menyediakan gambaran lengkap laku
perisitiwa melalui dialog tokoh-tokohnya. Gambaran ini sangat
penting bagi sutradara untuk mewujudkannya di atas pentas.
Kalaupun hendak melakukan adaptasi atau penyesuaian,
sutradara telah mendapatkan gambarannya.
Di samping kelebihan tersebut di atas, pementasan teater berdasar
naskah lakon juga memiliki kekurangan dan problem tersendiri.
Jika sumber daya yang dimiliki tidak sesuai dengan kehendak
lakon harus dilakukan adaptasi. Hal ini perlu dilakukan. Jika
memaksakan kehendak harus sesuai dengan gagasan lakon,
maka kerja sutradara akan semakin keras. Tergantung dari
kekurangan sumber daya yang dimiliki. Jika sumber daya
manusia (aktor) yang kurang, maka sutradara memerlukan
waktu ekstra untuk membimbing para aktornya. Jika sumber
dana yang kurang maka tim poruduksi harus berusaha keras
untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jika hendak menyesuaikan
dengan ketersediaan sumber daya, maka adaptasi lakon
harus dilakukan. Sutradara perlu meluangkan waktu untuk
melakukannya.
Kreativitas aktor terbatas. Dengan ditentukannya arah laku
maka kreativitas aktor di atas panggung menjadi terbatas.
Meskipun secara artistik tidak masalah, tetapi karya teater
menjadi karya sutradara. Aktor tidak memiliki kebebasan
penuh selain menerjemahkan konsep artistik sutradara.
Tidak memungkinkan pengembangan cerita. Cerita yang telah
dituliskan oleh pengarang harus ditaati. Setuju atau tidak
setuju terhadap cerita, konflik, dan penyelesaian konflik,
sutradara harus mengikutinya. Jika sutradara hendak
mengembangkan cerita, konflik dan mengubah cara
penyelesaian, ia harus mendapatkan ijin dari penulis naskah
lakon. Jika ia tetap melakukannya, maka sutradara telah
109
melanggar kode etik dan hak karya artistik. Jika naskah lakon
tersebut telah dipublikasikan dalam bentuk buku dan memiliki
hak cipta maka sutradara bisa dituntut di muka hukum.
4.1.2 Improvisasi
Mementaskah teater secara improvisasi memiliki keunikan
tersendiri. Sutradara hanya menyediakan gambaran cerita selanjutnya
aktor yang mengembangkannya dalam permainan. Beberapa kelebihan
pentas teater improvisasi adalah;
Kreativitas sutradara dan aktor dapat dikembangkan seoptimal
mungkin. Sutradara dapat mengembangkan cerita dengan
bebas dan aktor dapat mengembangkan kemungkinan gaya
permainan dengan bebas pula. Dalam proses latihan
terkadang sutradara mendapat inspirasi dari laku aksi pemain
demikian pula sebaliknya. Dengan berkembangnya cerita
maka aktor mendapatkan arahan laku lain yang bisa
dicobakan.
Arahan laku terbuka. Oleh karena tidak ada petunjuk arah laku
yang jelas, maka aktor dapat mengembangkannya. Terkadang
hal ini dapat menimbulkan efek artistik yang alami dan
menarik.
Konflik dan sudut pandang penyelesaian bisa dikembangkan.
Sifat teater improvisasi yang terbuka memungkinkan
pengembangan konflik dan penyelesaian. Dalam teater
tradisional, mereka biasanya menerima pesan tertentu dari
penyelenggara. Pesan ini dengan luwes dapat diselipkan
dalam lakon. Terkadang untuk menyampaikan pesan titipan
tersebut konflik minor baru dimunculkan. Setelah konflik ini
diselesaikan dengan cara yang khas dan lucu maka cerita
kembali ke konflik semula.
Memungkinkan percampuran bentuk gaya. Dalam teater
improvisasi gaya pementasan juga terbuka. Misalnya, dalam
pertunjukan ketoprak sebuah adegan dilakukan mengikuti
kaidah gaya presentasional (adegan Istana), tetapi di adegan
lain menggunakan gaya realis (adegan dagelan).
Pencampuran gaya ini dimaksudkan untuk memenuhi selera
penonton.
Cerita bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki.
Salah satu kelebihan utama teater improvisasi adalah cerita
dan pemeran dapat dibuat berdasarkan sumber daya yang
dimiliki. Jika banyak pemain yang bisa melucu maka cerita
komedi akan efektif, tetapi jika jumlah pemain yang memiliki
kemampuan laga banyak, maka cerita penuh aksi dapat
dijadikan pilihan. Kemampuan sumber daya ini bisa dijadikan
strategi untuk membuat pertunjukan menarik dan memiliki ciri
khas tertentu.
110
Di balik semua kelebihan di atas, teater improvisasi juga memiliki
kekurangan yang patut diperhatikan oleh sutradara.
Durasi waktu tidak tertentu. Oleh karena cerita bisa
dikembangkan, maka durasi pementasan bisa berubah-ubah.
Semua tergantung dari improvisasi aktor di atas pentas.
Sutradara bisa memotong sebuah adegan yang berjalan
cukup lama dengan membunyikan tanda agar musik
dimainkan dan adegan segera diselesaikan. Kekurangan dari
pemotongan adegan ini adalah jika inti dialog (persoalan)
belum sempat terucapkan maka inti dialog harus diucapkan
pada adegan berikutnya.
Improvisasi dialog tidak berimbang. Dalam sebuah grup teater,
kemampuan setiap aktor pasti tidak sama. Oleh karena itu,
jika sutradara tidak jeli memahami hal ini, bisa jadi ia
memasangkan aktor yang memilliki kemampuan tak
berimbang dalam improvisasi. Akibatnya, dalam adegan
tersebut aktor yang satu terlalu aktif dan yang lain pasif. Jika
hal ini terjadi cukup lama, maka akan membosankan.
Kualitas dialog tidak dapat distandarkan. Karena tidak ada
arahan dialog yang baku, maka kualitas dialog tidak bisa
distandarkan. Bagi aktor yang memiliki kemampuan sastra
memadai tidak jadi masalah, tetapi bagi aktor yang kualitas
sastranya pas-pasan hal ini menjadi masalah besar. Untuk itu,
meskipun improvisasi, latihan adegan tetap harus sering
dilakukan.
Kemungkinan aktor melakukan kesalahan lebih besar. Sifat
akting adalah aksi dan reaksi. Jika seorang aktor beraksi,
maka aktor lawan mainnya harus bereaksi. Karena arahan
laku yang terbuka maka reaksi ucapan sering dilakukan
spontan dan belum tentu benar. Di samping itu, kesalahan
ucap atau penyampaian informasi tertentu bisa saja salah
karena memang tidak dicatat dan hanya diingat garis
besarnya saja.
Sutradara tidak bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya
pementasan. Jika pementasan sudah berjalan, maka
panggung sepenuhnya adalah milik aktor. Sutradara tidak bisa
lagi mengendalikan jalannya pertunjukan. Aktor mengambil
peran penuh. Karena sifatnya yang serba terbuka, aktor bisa
mengembangkan cerita dan gaya permainan di atas pentas
dan sutradara tidak bisa lagi mengarahkan secara langung.
Jika dalam teater berbasis naskah, lakon sebagai pengendali
cerita maka dalam teater imrpovisasi aktor harus mampu
mengendalikan jalannya cerita.
111
4.2 Menurut Bentuk Penyajian
Banyaknya pilihan bentuk penyajian pementasan teater membuat
sutradara harus jeli dalam menentukannya. Jika tidak, sutradara akan
kerepotan sendiri. Oleh karena setiap bentuk penyajian memiliki
kekhasan dan membutuhkan prasyarat tertentu yang harus dipenuhi,
maka sutradara wajib mempelajari dan memahami langkah-langkah
dalam melaksanakannya.
4.2.1 Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan ekspresi gerak tubuh
dan mimik muka daripada wicara. Pesan yang tidak disampaikan secara
verbal membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya. Di bawah
ini beberapa langkah yang bisa diambil oleh sutradara dalam menggarap
teater gerak
Sutradara mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak.
Simbol dan makna yang disampaikan melalui gerak harus
dikerjakan dengan teliti. Jika tidak, maka maknanya akan
kabur. Sutrdara harus mampu mengeksplorasi dan
menciptakan gerak sesuai dengan makna pesan yang hendak
disampaikan.
Memahami komposisi dan koreografi. Karena bekerja dengan
gerak, maka teori komposisi dan koreografi dasar wajib dimiliki
oleh sutradara. Penataan gerak tidak bisa dikerjakan dengan
serampangan, harus mempertimbangkan makna pesan,
suasana, dan terutama musik ilustrasinya. Untuk mendukung
rangkaian gerak yang telah diciptakan, pengaturan pemain
perlu dilakukan. Meskipun rangkaian gerak yang dihasilkan
sangat indah, tetapi jika komposisi (tata letak) pemainnya tidak
berubah akan melahirkan kejenuhan.
Mewujudkan bahasa dalam simbol gerak. Mengubah bahasa
dalam simbol gerak tidaklah mudah. Apalagi jika sudah
menyangkut makna. Oleh karena itu, sutradara harus bisa
mewujudkan bahasa verbal dalam simbol gerak.
Mewujudkan ekspresi melalui mimik para aktor. Ekspresi
emosi atau karakter peran harus bisa diwujudkan melalui
mimik para aktor. Oleh karena keterbatasan bahasa verbal
dalam pertunjukan teater gerak, maka ekspresi mimik menjadi
sangat penting.
Mengerti musik ilustrasi. Meskipun tidak bisa memainkan
musik, sutradara teater gerak harus mengerti kaidah musik
ilustrasi. Kapan musik mengikuti gerak pemain, kapan pemain
harus menyesuaikan dengan alunan musik, kapan musik hadir
sebagai latar suasana, dan perbedaannya harus dimengerti
oleh sutradara.
112
Jika pemain dalam jumlah banyak, maka pengaturan blocking
harus lebih teliti. Jumlah pemain yang banyak menimbulkan
persoalan tersendiri, terutama menyangkut komposisi. Jika
tidak pintar mengelola, maka banyaknya jumlah pemain justru
akan memenuhi panggung dan membuat suasana menjadi
sesak. Menempatkan pemain dalam posisi dan gerak yang
tepat akan membuat pertunjukan semakin menarik. Jika
jumlah pemain banyak dan harus bergerak secara serempak,
maka dianjurkan untuk mengkreasi gerak sederhana yang
mudah dilakukan. Jika gerak terlalu sulit, maka irama rampak
gerak yang diharapkan bisa kacau.
Jika pemain sedikit maka motif gerak harus lebih variatif.
Jumlah pemain bisa disiasati dengan menambah
perbendaharaan gerak. Motif gerak yang kaya akan membuat
tampilan menjadi variatif dan menyegarkan.
4.2.2 Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang khas tergantung jenis
boneka yang dimainkan. Kewajiban sutradara tidak hanya mengatur
pemain manusia, tetapi juga mengatur permainan boneka. Di bawah ini
beberapa langkah yang bisa dikerjakan oleh sutradara yang hendak
mementaskan teater boneka.
Mampu memainkan boneka dengan baik. Banyak jenis
boneka dan masing-masing membutuhkan teknik khusus
dalam memperagakannya. Boneka dua dimensi seperti
wayang kulit memiliki teknik memainkan berbeda dengan
boneka tiga dimensi seperti wayang golek. Boneka wayang
golek memiliki teknik permainan yang berbeda dengan boneka
marionette yang dimainkan dengan tali. Sutradara harus bisa
memainkan boneka tersebut.
Mampu mengisi suara sesuai dengan karakter boneka.
Mengisi suara sesuai karakter boneka menjadi prasyarat
utama. Karakter suara harus bisa tampil secara konsisten dari
awal hingga akhir pertunjukan. Biasanya seorang pemain
boneka bisa membuat beberapa karakter suara yang berbeda.
Mampu menghidupkan ekspresi boneka yang dimainkan.
Memainkan boneka bisa saja dipelajari, tetapi memberikan
ekspresi hidup adalah hal yang lain. Ekspresi selalu
menyangkut penghayatan dan konsentrasi. Karena peran
diperagakan oleh boneka, maka karakter boneka harus benarbenar
melekat sehingga pengendali boneka seolah-olah bisa
memberikan nafas hidup di dalamnya. Boneka yang
dimainkan dengan hidup akan menarik dan tampak nyata.
Jika pemain boneka banyak maka harus mampu mengatur
adegan agar pergerakan boneka tidak saling mengganggu.
113
Jika lakon yang dimainkan membutuhkan banyak peran, maka
pengaturan adegan harus dikerjakan dengan teliti. Tempat
pertunjukan teater boneka yang terbatas harus disesuaikan
dengan jumlah boneka yang tampil. Selain itu, seorang
pengendali biasanya hanya bisa mengendalikan maksimal dua
boneka, maka penampilan boneka yang terlalu banyak juga
akan merepotkan para pengendalinya.
Jika pemain sedikit harus memiliki kemampuan mengisi suara
dengan karakter yang berbeda. Jumlah pengendali boneka
yang sedikit tidak masalah asal setiap orang mampu
menciptakan beberapa karakter suara. Yang terpenting dan
perlu dicatat adalah setiap boneka mempunyai karakter
suaranya sendiri.
Mampu membangun kerjasama antarpemain boneka. Dalam
teater boneka kerjasama antarpemain tidak hanya
menyangkut emosi, tetapi juga menyangkut hal-hal teknis.
Keluar masuknya boneka di atas pentas berkaitan langsung
dengan pengendali bonekanya. Oleh karena itu, pengaturan
adegan boneka disesuaikan dengan kemampuan pengendali.
Jika tidak ada kerjasama yang baik antarpemain (pengendali
boneka), maka pergantian adegan bisa semrawut sehingga
para pemain kewalahan.
4.2.3 Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik membutuhkan kerja keras
sutradara terutama terkait dengan akting pemeran. Oleh karena tuntutan
pertunjukan teater dramatik yang mensyaratkan laku aksi seperti kisah
nyata, maka sutradara harus benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi
para aktor. Demikian juga dengan suasana kejadian, semua harus
tampak natural, tidak dibuat-buat. Beberapa langkah yang dapat
dikerjakan oleh sutradara dalam menggarap teater dramatik adalah
sebagai berikut.
Memahami tensi dramatik (dinamika lakon). Laku lakon dari
awal sampai akhir mengalami dinamika atau ketegangan yang
turun naik. Sutradara harus memahami bobot tegangan (tensi)
dramatik dalam setiap adegan yang ada pada lakon. Jika pada
bagian awal konflik tegangan terlalu tinggi, maka aktor akan
kesulitan meninggikan tegangan pada saat klimaks. Hasil
akhirnya adalah anti klimaks di mana pada adegan yang
seharusnya memiliki tensi tinggi justru melemah karena energi
para aktornya telah habis. Untuk menghindari hal tersebut
sutradara harus benar-benar teliti dalam mengukur tegangan
dramatik adegan per adegan dalam lakon. Jika dianalogikan
dengan nilai 1 sampai dengan 10, maka sutradara harus
menetapkan tegangan optimal dan minimal. Angka tertinggi
114
dari deret tegangan yang harus dicapai oleh aktor adalah 8
atau 9, sehingga ketika dalam adegan tertentu membutuhkan
tegangan yang lebih aktor masih bisa mengejarnya. Intinya,
bijaksanalah dalam menentukan tegangan dramatik adegan
dan buatlah klimaks yang mengesankan dan penyelesaian
yang dramatis.
Memahami sisi kejiwaan karakter peran. Hal yang paling sulit
dilakukan oleh sutradara adalah membongkar kejiwaan
karakter peran dan mewujudkannya dalam laku aktor di atas
pentas. Sisi kejiwaan yang menyangkut perasaan karakter
peran harus dapat ditampilkan senatural mungkin sehingga
penonton menganggap hal itu benar-benar nyata terjadi. Di
sinilah letak kesulitannya, aktor diharuskan berakting tetapi
seolah-olah ia tidak berakting melainkan melakukan
kenyataan hidup. Jika sutradara tidak memahami kejiwaan
karakter peran dengan baik maka penilaiannya terhadap
kualitas penghayatan aktor pun kurang baik. Jika demikian,
maka efek dramatik yang diharapkan dari aksi aktor menjadi
gagal.
Mampu meningkatkan kualitas pemeranan aktor untuk
menghayati peran secara optimal. Berkaitan dengan karakter
peran, sutradara harus dapat menentukan metode yang tepat
agar para aktornya dapat memahami, menghayati dan
memerankan karakter dengan baik. Banyak sutradara yang
mengadakan semacam pemusatan latihan dalam kurun waktu
yang cukup lama dengan tujuan agar para aktornya berada
dalam suasana lakon yang akan dipentaskan.
Mampu menghadirkan laku cerita seperti sebuah kenyataan
hidup. Langkah pamungkas yang dapat dijadikan patokan
adalah menghadirkan pentas seperti sebuah kenyataan hidup.
Membuat penonton terkesima dengan pertunjukan tidaklah
mudah. Dalam teater dramatik, jika melakonkan cerita yang
sedih ukuran keberhasilannya adalah membuat penonton ikut
terhanyut sedih. Demikian pula dengan cerita suka-ria, maka
penonton harus dibawa dalam suasana yang suka-ria. Untuk
mencapai hasil maksimal maka kejelian sutradara dalam
mengamati dan menangani keseluruhan unsur pertunjukan
sangat dibutuhkan. Kejanggalan-kejanggalan kecil yang dirasa
kurang masuk akal oleh penonton akan mengurangi kualitas
dramatika lakon yang dihadirkan. Teater dramatik adalah
teater yang mencoba meniru peristiwa kehidupan secara total
dan sempurna. Jadi, hindarilah kesalahan atau hal yang tidak
lumrah dan berada di luar jangkauan nalar penonton.
115
4.2.4 Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh seorang sutradara jika
hendak mementaskan drama musikal. Bahasa ungkap yang beragam
antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan musikal harus dirangkai secara
harmonis untuk mencapai hasil maksimal. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan sutradara dalam drama musikal adalah sebagai berikut.
Mengerti karya musik dramatik. Sutradara tidak harus bisa
memainkan musik, tetapi memahami karya musik merupakan
keharusan dalam drama musikal. Peranan musik sangat
doniman dalam drama musikal bahkan musik bisa hadir
secara mandiri untuk menceritakan sesuatu. Artinya, musik itu
sendiri sudah bercerita sehingga pemain atau penari yang
berada di atas panggung hanyalah pelengkap gambaran
peristiwa. Pada adegan lain, peran musik bisa menjadi
pengiring lagu yang bercerita, pengiring gerak, dan ilustrasi
suasana kejadian. Kepiawaian sutradara dalam menentukan
kegunaan karya musik yang satu dengan yang lain benarbenar
dibutuhkan. Jika karya drama musikal tersebut berawal
dari karya musik murni (musik yang bercerita) seperti The
Cats karya Andrew Lloyd Webber, maka sutradara harus
benar-benar piawai dalam mengolah visualisasinya di atas
pentas.
Mengerti lagu dan nyanyian. Peranan dialog verbal yang
digubah dalam bentuk lagu dan diucapkan melalui nyanyian
adalah satu hal yang membutuhkan perhatian tersendiri.
Ketepatan nada dalam nyanyian serta ekspresi wajah ketika
menyanyi juga tidak boleh luput dari pengamatan. Banyak
penyanyi yang memiliki suara baik tetapi ekspresinya datar,
demikian pula sebaliknya. Sutradara harus mampu
memecahkan masalah dasar tersebut. Lagu dan nyanyian
harus bisa ditampilkan secara baik dan harmonis.
Mampu membuat gerak dan ekspresi berdasar karya musik.
Pada adegan dimana musik bercerita secara mandiri maka
sutradara harus mampu memvisualisasikan cerita tersebut di
atas pentas. Memilih pelaku yang tepat dan membuat
komposisi atau koreografi berdasar karya musik yang ada.
Ekspresi cerita melalui nada-nada musik harus benar-benar
bisa divisualisasikan dengan tepat.
Mampu membuat gerak, komposisi, dan koreografi. Dalam
satu adegan saat cerita diungkapkan melalui gerak, maka
sutradara harus mampu menciptkan koreografinya. Dalam hal
ini musik bertindak sebagai pengiring. Makna cerita
sepenuhnya dituangkan dalam wujud gerak. Dituntut
kepiawaian sutradara dalam memilih dan merangkai motif
gerak. Meskipun sutradara bekerja dengan seorang
koreografer, tetapi makna dan atau simbolisasi cerita harus
116
benar-benar bisa diwujudkan dalam gerak tarian yang
dilakukan. Koreografer bisa saja mencipta gerak, tetapi pada
akhirnya sutradara yang memutuskan.
4.2.5 Teatrikalisasi Puisi
Menciptakan karya teater berdasarkan puisi yang bercerita
membutuhkan keahlian tersendiri. Sifat puisi berbeda dengan lakon
(sastra drama), maka sutradara harus mampu meramu bait-bait pusisi ke
dalam bentuk teatrikal. Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan acuan
sutradara yang hendak mementaskan teatrikalisasi puisi.
Memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Sutradara harus
memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Lebih mudah jika
puisi tersebut sudah terjalin menjadi satu cerita. Jika karya
puisi masih terpisah-pisah - bisa dengan satu pencipta atau
lebih – sutradara harus dapat menjalinnya menjadi sebuah
cerita yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam bentuk
teater. Syarat cerita teater adalah adanya “konflik”. Jika ada
konflik, maka secara otomatis harus ada penyebab dan
penyelesaiannya. Puisi yang sudah dirangkai sesuai dengan
prasyarat ini bisa diangkat ke dalam bentuk teater. Yang perlu
diingat adalah kesatuan tema dan gaya puisi. Kalau gaya
masing-masing puisi berbeda, maka rangkaian yang
dihasilkan hanya merupakan sekumpulan puisi sehingga
bentuk pementasannya menjadi kumpulan sketsa.
Memahami teknik membaca puisi. Teknik membaca puisi
berbeda dengan teknik wicara dalam teater. Ada kaidahkaidah
tertentu yang harus dipahami oleh sutradara, misalnya
pemenggalan kata, irama pengucapan, dan penekanan
makna. Jika teknik membaca dipahami dan dikuasai dengan
baik, maka sutradara akan dapat melatihkannya ke aktor.
Selain itu, kemungkinan bentuk pengembangan (gaya
pengucapan) akan terbuka lebih lebar dan terarah.
Mewujudkan makna puisi dalam gerak, ekspresi, dan laku
aktor. Teatrikalisasi puisi bisa ditampilkan dengan
menambahkan komposisi gerak. Hal ini bertujuan untuk
menegaskan gambaran makna puisi yang disampaikan. Bagi
aktor yang mengucapkan baris-baris puisi, maka tugas
sutradara adalah mengatur keselarasan gerak, ekspresi, dan
pengucapan kalimat puisi tersebut. Ketiga unsur ini harus
saling mendukung dan menguatkan. Sementara, pemain lain
yang memberikan latar gerak, komposisi dan irama geraknya
diatur untuk mendukung pemain utama. Semua mengacu
pada harmonisasi.
Mengubah puisi dalam bentuk koreografi atau nyanyian. Untuk
menambah daya tarik terkadang bait-bait puisi diubah dalam
117
bentuk gerak atau diubah menjadi lagu. Kemampuan
sutradara untuk menemukan alternatif media ungkap puisi
sangat diperlukan. Bentuk gerak dan nyanyian hanyalah salah
satunya. Jika sutradara menemukan bentuk ungkap lain, maka
hal tersebut harus diterapkan dengan baik demi mendukung
harmonisasi. Banyaknya ragam media ungkap puisi membuat
pertunjukan menjadi kaya.
Menghadirkan musik ilustrasi yang tepat. Musik pengiring
merupakan unsur yang penting dalam teatrikalisasi puisi.
Dalam pementasan pembacaan puisi, seniman biasanya
menambahkan musik pengiring. Usaha yang cukup berhasil ini
membawa puisi ke dalam dimensi yang lebih dalam dan itu
membawa pengaruh kuat dalam pementasan. Usaha ini
kemudian dilestarikan para seniman sehingga dalam pentas
baca puisi, kehadiran musik pengiring menjadi penting. Tanpa
musik pengiring, pertunjukan teatrikalisasi puisi menjadi
hambar. Dengan alasan ini, maka sutradara harus mampu
memilih jenis karya musik yang tepat untuk mengiringi setiap
adegan. Sutradara diharapkan bekerjasama dengan penata
musik, tetapi arahan utama atau gagasan pengadeganan
tetap ada pada sutradara. Penata musik hanya
menerjemahkan kehendak sutradara ke dalam komposisinya.
Selanjutnya sutradara memberi penilaian baik (tepat) tidaknya
komposisi tersebut dalam adegan.
4.3 Menurut Gaya Penyajian
Sejak sejarah kelahirannya, teater telah memunculkan berbagai
macam gaya pementasan. Para seniman teater tidak pernah berhenti
menggali visualisasi artistik pementasan. Beberapa gaya pementasan
yang dilahirkan ada yang bertahan hingga saat ini dan banyak yang tidak
lama bertahan. Gaya pementasan yang bertahan biasanya memiliki daya
tarik yang kuat dan membuat seniman lain ikut melakukannya. Jika gaya
tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang lama oleh seniman berbeda
dalam berbagai produksi, maka ciri-ciri dari gaya tersebut berubah
menjadi konvensi (pakem). Pertunjukan teater yang menjalankan
konvensi tertentu dengan ketat disebut sebagai teater konvensional.
Untuk membedakan, pertunjukan teater dengan gaya lain yang masih
membuka kemungkinan pengembangan dan belum menetapkan
konvensi disebut sebagai teater non konvensional.
4.3.1 Konvensional
Mementaskan teater konvensional membutuhkan kecermatan dan
kedisiplinan dalam menerapkan konvensi. Mentaati konvensi terkadang
tidak mudah karena kemungkinan bentuk pengembangannya menjadi
118
sangat terbatas. Jika tidak hati-hati gagasan baru untuk pengembangan
justru bertolak belakang dari konvensi yang ada. Banyak polemik lahir
mengenai ketaatan konvensi, terutama dalam teater tradisional. Hal ini
biasanya berkaitan dengan penyebutan nama dan prasyarat yang
mengikutinya. Misalnya, untuk menyebut pertunjukan teater yang
bernama ludruk maka aturan-aturan pertunjukan ludruk harus dipenuhi.
Di bawah ini adalah langkah-langkah yang bisa diterapkan sutradara
yang ingin mementaskan teater konvensional.
Memilih jenis teater konvensional. Banyak sekali jenis teater
konvensional, terutama di Indonesia. Setiap teater tradisional
bisa disebut sebagai teater konvensional. Ludruk, randai,
ketoprak, longser, lenong, wayang wong, semua dapat
digolongkan ke dalam teater konvensional. Di Asia terdapat
noh, kyogen, bunraku (Jepang), sandiwara bangsawan, mak
yong (Malaysia), lakhon (Thailand, Myanmar). Di Barat, semua
teater sejak belum lahirnya realisme disebut teater
konvensional. Bahkan dewasa ini realisme dan beberapa
gaya teater modern lain yang ciri-cirinya sudah melembaga
bisa disebut sebagai teater konvensional. Sutradara harus
memilih jenis teater konvensional yang hendak dipentaskan
sesuai dengan kemampuannya.
Memahami konvensi. Untuk mementaskan teater ini sutradara
harus memahami dengan baik konvensi (pakem) yang ada.
Meskipun konvensi tersebut bersifat normatif tetapi
pemberlakuannya ketat apalagi jika jenis teater tersebut telah
digolongkan sebagai teater klasik. Setiap jenis teater
konvensional memiliki aturan yang berbeda. Misalnya, aturan
pertunjukan ludruk berbeda dengan randai, ketoprak, wayang
wong, longser, dan lain sebagainya. Meskipun terdapat
beberapa unsur kesamaan tetapi ciri khas masing-masing
jenis teater tersebut berbeda. Hal ini berlaku juga untuk teater
di Barat, jenis teater konvensional yang ada misalnya gaya
presentasional (klasik) dan represantisonal (realis) memliki
konvensi yang sangat berbeda. Sutradara harus benar-benar
memahami konvensi jenis teater konvensional yang dipilih.
Dapat menjalankan konvensi dengan konsisten. Karena
konvensi ini harus dilakukan, maka sutradara harus mau dan
mampu menjalankannya secara konsisten. Misalnya, dalam
sebuah konvensi pemain harus menari ketika keluar-masuk
panggung maka sutradara diharuskan mentaatinya. Jika ada
pemain yang tidak bisa menari, maka ia harus melatihnya atau
memanggilkan pelatih untuk mengajari menari. Jika sutradara
putus asa dan memperbolehkan para pemain tidak menari
ketika keluar-masuk panggung, maka ia telah menyalahi
konvensi dan bisa jadi menuai kritikan tajam dari para
pengamat dan pelaku teater konvensional.
119
Mampu bekerja dengan semua unsur dalam mewujudkan
konvensi. Konvensi sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya
menyangkut laku pemain, tetapi juga unsur pendukung lain,
misalnya tata busana dan musik. Misalnya, dalam wayang
wong, tata rias-busana pewayangan (meniru tokoh wayang
dalam wayang kulit) serta gamelan merupakan keharusan.
Oleh karena itu sutradara harus mampu bekerja dengan
semua unsur yang menjadi prasyarat sebuah konvensi.
Biasanya dalam hal ini sutradara mengangkat beberapa
penasehat untuk memberikan arahan dalam bidang-bidang
yang tidak dikuasai (secara langsung) dengan baik oleh
sutradara. Menjaga konvensi sebuah pertunjukan sangat
berarti bagi pelestarian sebuah tradisi.
4.3.2 Non Konvensional
Teater non konvensional memiliki kemungkinan yang sangat
terbuka bagi pengembangan artistik dan sudut pandang. Eksperimentasi
sangat dimungkinkan. Pencobaan model penyajian, bentuk
pemanggungan, laku lakon sampai bentuk dan gaya akting dapat
dikerjakan. Akan tetapi, semua harus disikapi dengan kreativitas artistik
yang positif. Di bawah ini beberapa hal yang dapat diperhatikan oleh
sutradara yang hendak menyajikan pementasan teater non konvensional.
Memahami dasar-dasar penciptaan teater. Dasar penciptaan
teater baik secara teori dan praktik harus dikuasai oleh
sutradara. Dasar penciptaan selanjutnya dapat dijadikan
pijakan untuk melahirkan kreasi artistik yang baru.
Pengetahuan yang perlu dipahami oleh sutradara adalah
sejarah teater sampai munculnya kreasi-kreasi penciptaan
dalam teater. Hal ini penting karena kreativitas teater bisa
dilahirkan dari berbagai rangsang dan imajinasi. Proses kreatif
seniman terkadang melahirkan kehendak kreatif bagi seniman
yang lain. Oleh karena itu, mempelajari proses penciptaan
teater dari para tokoh teater adalah wajib. Banyak pekerja
teater pemula yang merasa telah melahirkan gagasan kreatif
baru dan memplubikasikan karya tersebut secara luas, tetapi
ketika ditelaah lebih teliti karya yang dikerjakannya adalah
pengulangan dari karya yang pernah dikerjakan oleh seniman
sebelumnya. Keadaan ini sering terjadi karena faktor distribusi
informasi yang tidak baik dan sang pelaku tidak mau
meningkatkan pengetahuannya.
Kreatif. Sifat kreatif harus dimiliki oleh sutradara. Tawarantawaran
kreatif harus mampu dilahirkan jika ingin menyajikan
bentuk pementasan yang baru dan menarik perhatian.
Inovatif. Jiwa inovasi atau mampu menciptakan yang belum
ada dan mengembangkan yang sudah ada wajib dimiliki.
120
Melihat persoalan dari berbagai sudut pandang adalah cara
yang paling mudah untuk menjelaskan proses inovasi. Dengan
melihat persoalan dari beragam sudut pandang, maka
peluang-peluang kreasi yang belum tersentuh dapat digali.
Stanislawsky melakukan inovasi hebat dalam hal metode
pemeranan demi mencapai tujuan artistik gaya realisme.
Grotowski melalui berbagai usahanya menyajikan pertunjukan
dalam bentuk panggung yang kreatif dan provokatif sehingga
menarik minat penonton. Inovasi terbuka lebar bagi yang mau
membuka pikiran.
Merancang dan menjelaskan konsep pertunjukan secara
menyeluruh. Gagasan dasar yang dimiliki harus dijelaskan
dalam sebuah konsep sehingga semua yang terlibat di
dalamnya memahami. Dalam rancangan konsep, semua
pertanyaan yang timbul harus bisa dijawab. Misalnya, dalam
sebuah pertunjukan, sutradara menghendaki semua
pemainnya melakukan gaya akrobatik dalam berakting, maka
segala hal yang melatari lahirnya gagasan tersebut serta
tujuan dari pentas itu harus dijelaskan dengan jelas. Apa yang
akan dicapai oleh sutradara secara artsitik, apa yang akan
ditawarkan kepada penonton melalui bentuk pertunjukan
tersebut. Semua harus mampu dijelaskan sutradara sehingga
karya yang dihasilkan memiliki konsep yang kuat dan tidak
hanya sekedar lain dari yang lain.
Mewujudkan konsep melalui aktor dan seluruh unsur
pendukung. Setelah menjelaskan dalam tataran wacana,
sutradara harus mampu mewujudkannya melalui para aktor
dan unsur pendukung artistik yang lain. Misalnya, untuk
memenuhi tuntutan aksi akrobatik, sutradara memanggil
pelatih sirkus dan melatih para aktor melakukan berbagai jenis
akrobat. Tata panggung dibuat sedemikian rupa sehingga
mendukung aksi akrobat yang dilakukan. Tata busana pun
harus dirancang dengan baik agar tidak mengganggu aksi
yang dilakukan. Semua unsur harus mendapatkan perhatian,
termasuk penataan adegan, pola dialog, blocking, ilustrasi
musik, dan lain sebagainya. Semuanya harus diatur,
diarahkan, dan dijalin dengan memperhatikan harmonisasi.
Banyak pertunjukan yang mencoba menawarkan sesuatu
yang baru, tetapi masih bersifat tambal sulam dan unsurunsurnya
tidak menyatu.
5. Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara mengatur pemain di atas
pentas. Bukan hanya akting tetapi juga blocking. Secara mendasar
blocking adalah gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap
121
tubuh seluruh aktor di atas panggung. Blocking dapat diartikan sebagai
aturan berpindah tempat dari titik (area) satu ke titik (area) yang lainnya
bagi aktor di atas panggung. Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka
perlu diperhatikan agar blocking yang dibuat tidak terlalu rumit, sehingga
lalulintas aktor di atas panggung berjalan dengan lancar. Jika blocking
dibuat terlalu rumit, maka perpindahan dari satu aksi menuju aksi yang
lain menjadi kabur. Yang terpenting dalam hal ini adalah fokus atau
penekanan bagian yang akan ditampilkan. Fungsi blocking secara
mendasar adalah sebagai berikut.
Menerjemahkan naskah lakon ke dalam sikap tubuh aktor
sehingga penonton dapat melihat dan mengerti.
Memberikan pondasi yang praktis bagi aktor untuk
membangun karakter dalam pertunjukan.
Menciptakan lukisan panggung yang baik.
Dengan blocking yang tepat, kalimat yang diucapkan oleh aktor menjadi
lebih mudah dipahami oleh penonton. Di samping itu, blocking dapat
mempertegas isi kalimat tersebut. Jika blocking dikerjakan dengan baik,
maka karakter tokoh yang dimainkan oleh para aktor akan tampak lebih
hidup.
5.1 Pembagian Area Panggung
Gb.51 Pembagian lima belas area panggung
Akn = Atas Kanan, AknT = Atas Kanan Tengah, AT = Atas Tengah, AkrT = Atas Kiri
Tengah, Akr = Atas Kiri, Kn = Kanan, TKn = Tengah Kanan, T = Tengah, TKr = Tengah
Kiri, Kr = Kiri, BKn = Bawah Kanan, BKnT = Bawah Kanan Tengah, BT = Bawah
Tengah, BKrT = Bawah Kiri Tengah, BKr = Bawah Kiri
122
Untuk membuat atau merencanakan blocking bagi para pemain,
perlu diketahui terlebih dahulu pembagian area panggung. Panggung
pertunjukan secara kompleks dibagi dalam lima belas area, yaitu tengah,
tengah kanan, tengah kiri, kanan, kiri, bawah tengah, bawah kanan
tengah, bawah kiri tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas
kanan tengah, atas kiri tengah, atas kanan, dan atas kiri. Pembagian
panggung dalam lima belas area ini biasanya digunakan untuk panggung
yang berukuran besar.
Letak kanan dan kiri atau atas dan bawah ditentukan berdasar
pada arah hadap aktor ke penonton. Kanan adalah kanan pemain dan
bukan kanan penonton dan kiri adalah kiri pemain. Atas adalah jarak
terjauh dari penonton, sedangkan bawah adalah jarak terdekat dengan
penonton, sedangkan kanan adalah posisi kanan arah hadap aktor atau
sisi kiri penonton.
Secara sederhana dan umum panggung dibagi sembilan area,
yaitu tengah, tengah kanan, tengah kiri, bawah tengah, bawah kanan,
bawah kiri, atas tengah, atas kanan, dan atas kiri. Panggung yang tidak
terlalu luas jika dibagi menjadi lima belas area, maka luas masing-masing
area akan terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan sebuah
pergerakan yang leluasa baik untuk pemain maupun perabot. Pembagian
sembilan area juga memudahkan sutradara dalam memberikan arah
gerak kepada para aktornya.
Gb.52 Pembagian sembilan area panggung
AKn = Atas Kanan, AT = Atas Tengah, AKr = Atas Kiri, TKn = Tengah Kanan,
T = Tengah, TKr = Tengah Kiri, BKn = Bawah Kanan, BT = Bawah Tengah,
BKr = Bawah Kiri
123
5.2 Komposisi
Komposisi dapat diartikan sebagai pengaturan atau penyusunan
pemain di atas pentas. Sekilas komposisi mirip dengan blocking.
Bedanya, blocking memiliki arti yang lebih luas karena setiap gerak, arah
laku, perpindahan pemain serta perubahan posisi pemain dapat disebut
blocking. Sedangkan komposisi, lebih mengatur posisi, pose, dan tinggirendah
pemain dalam keadaan diam (statis). Pengaturan posisi pemain
seperti ini dilakukan agar semua pemain di atas pentas dapat dilihat
dengan jelas oleh penonton. Ada dua ragam komposisi pemain, yaitu
komposisi simetris dan komposisi asimetris yang ditata dengan
mempertimbangkan keseimbangan.
5.2.1 Simetris
Komposisi simetris adalah komposisi yang membagi pemain
dalam dua bagian dan menempatkan bagian-bagian tersebut dalam
posisi yang benar-benar sama dan seimbang. Jika digambarkan
komposisi ini mirip cermin. Bagian yang satu merupakan cerminan bagian
yang lain. Di bawah ini adalah contoh komposisi simetris.
Gb.53 Komposisi simteris
5.2.2 Asimetris
Komposisi asimetris tidak membagi pemain dalam dua bagian
yang sama persis, tetapi membagi pemain dalam dua bagian atau lebih
dengan tujuan memberi penonjolan (penekanan) bagian tertentu. Di
bawah ini contoh komposisi asimetris.
124
Gb.54 Komposisi asimetris
5.2.3 Keseimbangan
Dalam menata komposisi pemain di atas pentas hal yang paling
penting untuk diperhatikan adalah keseimbangan. Keseimbangan adalah
pengaturan atau pengelompokan aktor di atas pentas yang ditata
sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan ketimpangan. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi ruang dan menghindari komposisi aktor yang
berat sebelah. Jika salah satu ruang dibiarkan kosong sementara ruang
yang lain terisi penuh, maka hal ini akan menimbulkan pemandangan
yang kurang menarik dan jika hal ini berlangsung lama, maka penonton
akan menjadi jenuh.
Gb.55 Komposisi yang seimbang
Gambar di atas memperlihatkan komposisi yang seimbang,
meskipun jumlah pemain di sisi kanan dan kiri berbeda. Jumlah pemain
yang banyak diimbangi dengan pemain tunggal yang mengambil jarak
dengan memanfaatkan area lain yang kosong.
125
Gambar di bawah memperlihatkan ketidakseimbangan komposisi
karena posisi atau kedudukan pemain berat sebelah sehingga areal
panggung yang lain nampak kosong. Komposisi seperti ini jika
berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan memberikan gambaran
yang jelek dan membuat mata penonton lelah.
Gb.56 Komposisi tak seimbang
5.3 Fokus
Dalam mengatur blocking, hal yang paling utama untuk
diperhatikan sutradara adalah perhatian penonton. Setiap aktivitas,
karakter, perubahan ekspresi dan aksi di atas pentas harus dapat
ditangkap mata penonton dengan jelas. Oleh karena itu, pengaturan
blocking harus mempertimbangkan pusat perhatian (fokus) penonton. Hal
ini dapat dikerjakan dengan menempatkan pemain dalam posisi dan
situasi tertentu sehingga ia lebih menonjol atau lebih kuat dari yang
lainnya.
5.3.1 Prinsip Dasar
Pada dasarnya fokus adalah membuat pemain menjadi terlihat
jelas oleh mata penonton. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar di bawah
ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menempatkan posisi dan
mengatur pose pemain.
Kurangilah menempatkan pemain dalam posisi menghadap
lurus ke arah penonton atau menyamping penuh. Usahakan
pemain menghadap diagonal (kurang lebih 45 derajat) ke arah
penonton. Menghadap lurus ke arah penonton akan
memberikan efek datar dan kurang memberikan dimensi
kepada pemain, sedangkan menyamping penuh akan
menyembunyikan bagian tubuh yang lain. Dengan menghadap
secara diagonal, maka dimensi dan keutuhan tubuh pemain
126
akan dilihat dengan jelas oleh mata penonton. Gambar di
bawah memperlihatkan pemain dengan pose menyamping,
diagonal, dan ke depan. Jika diperhatikan dengan seksama,
pemain dengan pose diagonal lebih memiliki dimensi
dibandingkan pemain dengan pose yang lain.
Gb.57 Pose arah hadap pemain
Jika pemain hendak melangkah, maka awali dan akhiri
langkah tersebut dengan kaki panggung atas (yang jauh dari
mata penonton). Jika melangkah dengan kaki panggung
bawah (yang dekat dari mata penonton), maka kaki yang jauh
akan tertutup dan wajah pemain secara otomatis akan
menjauh dari mata penonton. Hal ini menjadikan gerak pemain
kurang terlihat dengan jelas. Gambar di bawah
memperlihatkan pemain yang melangkah menggunakan kaki
panggung bawah dan kaki panggung atas. Pemain yang
melangkah dengan kaki panggung atas tampak lebih luwes
dan memberi keluasan pandangan bagi penonton
127
Gb.58 Gerak langkah pemain
Gb.59 Pose menunjuk
128
Gunakan lengan atau tangan panggung atas (yang jauh dari
mata penonton) untuk menunjuk ke arah panggung atas dan
gunakan lengan atau tangan panggung bawah (yang dekat
dengan mata penonton) untuk menunjuk ke panggung bawah.
Jika yang dilakukan sebaliknya, maka gerakan lengan dan
tangan akan menutupi bagian tubuh lain. Gambar di atas
memperlihatkan pemain yang menunjuk dengan lengan
panggung atas nampak lebih serasi dan memberi keluasan
pandangan.
Jangan pernah memegang benda atau piranti tangan di depan
wajah ketika sedang berbicara, karena hal ini akan menutupi
suara dan pandangan penonton. Gambar di bawah
memperlihatkan betapa mengganggunya memegang piranti
(telepon) dengan menutupi muka. Jika tangan yang digunakan
adalah tangan yang tidak menganggu pandangan penonton,
maka gerak laku aktor dalam menggunakan telepon akan
kelihatan. Hal ini mempertegas laku aksi yang sedang
dikerjakan.
Gb.60 Cara memegang piranti
Usahakan agar para aktor saling menatap (berkontak mata)
pada saat mengawali dan mengakhiri dialog (percakapan).
Selebihnya, usahakan untuk berbicara kepada penonton atau
kepada aktor lain yang berada di atas panggung. Membagi
arah pandangan ini sangat penting untuk menegaskan dan
memberi kejelasan ekspresi karakter kepada penonton.
129
Perhatikan gambar aktor yang melakukan kontak mata ketika
berbicara di bawah ini.
Gb.61 Aktor saling kontak mata
5.3.2 Teknik
Marsh Cassady (1997) menyebutkan beberapa teknik untuk
menciptakan fokus pemain di atas panggung, di antaranya dengan
memanfaatkan area panggung, memanfaatkan tata panggung,
trianggulasi, individu dan kelompok, serta kelompok besar.
5.3.2.1 Memanfaatkan Area Panggung
Dalam tata panggung, suatu area memiliki kekuatan berbeda
dibanding area yang lain. Kekuatan dalam makna blocking di sini adalah,
area yang lebih mudah mendapat perhatian mata penonton. Semua area
panggung kelihatan sama jika dalam keadaan kosong, tetapi setelah para
aktor hadir di dalamnya, maka segera perhatian penonton akan tertuju ke
area tertentu yang lebih kuat dibanding area lain. Secara umum, area
tengah, area terdekat dengan penonton, serta jarak area, dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan fokus.
Area tengah, secara natural lebih kuat jika dibandingkan
dengan area di sisi kiri atau kanan. Pemain yang berada di
tengah secara otomatis menjadi pusat perhatian penonton
sementara pemain yang berada di sisi kanan dan kirinya seolaholah
hadir sebagai penyeimbang. Gambar 62 menunjukkan
bahwa pemain yang berada di tengah menjadi pusat perhatian.
Gambar 63 juga menunjukkan hal yang sama, meskipun jumlah
pemain di sisi kanan dan kiri lebih banyak tetapi tetap saja
pemain yang berada di tengah menjadi pusat perhatian.
130
Gb.62 Pemain yang berada di tengah menjadi fokus
Gb.63 Pemain yang berada di tengah tetap menjadi fokus meskipun jumlah
pemain di sisi kiri dan kanan lebih banyak
Area terdekat dengan penonton lebih memiliki kekuatan
dibanding dengan area yang jauh dari mata penonton. Gambar
64 di bawah ini memperlihatkan bahwa secara otomatis
perhatian penonton akan mengarah pada pemain yang berada
lebih dekat daripada yang berdiri di area yang jauh. Mata
penonton secara otomatis akan menangkap objek yang lebih
dekat dan jelas. Hal ini memberikan jawaban mengapa dalam
pertunjukan teater tradisional pemain yang berbicara dan
hendak melontarkan pernyataan penting selalu mendekat ke
arah penonton. Mereka ingin menjadi pusat perhatian.
131
Gb.64 Pemain yang berada lebih dekat dengan penonton menjadi fokus
perhatian
Jarak area satu dengan yang lain jika dimanfaatkan dengan
baik dapat menciptakan fokus. Dengan analogi yang lebih
terang akan lebih mudah terlihat, maka jarak antararea dapat
digunakan untuk memberi penonjolan pada pemain tertentu.
Dalam gambar 65 di bawah diperlihatkan bahwa seorang
pemain yang menjaga jarak dari sekelompok pemain akan lebih
mudah dan enak dilihat.
Gb.65 Pemain yang mengambil jarak dari sekelompok pemain akan menjadi
fokus
132
5.3.2.2 Memanfaatkan Tata Panggung
Tata panggung, sesederhana apapun dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan fokus. Dengan sedikit kejelian, tata dekorasi pentas
menghasilkan ruang yang dapat dimaknai secara khusus untuk
kepentingan fokus pemain.
Dengan memanfaatkan posisi tinggi rendah pemain menurut
tatanan set dekor yang ada, fokus dapat diciptakan. Posisi
pemain yang berdiri di ketinggian biasanya lebih kuat jika
dibanding dengan pemain yang ada di bawah. Tetapi jika ada
dua pemain yang sama tingginya, maka pemain yang berada di
bawah justru akan menjadi fokus karena kedudukan tinggi dua
pemain akan saling menghapuskan kekuatan satu sama lain.
Gb.66 Pemain yang lebih tinggi dari pemain lain menjadi fokus
Gb.67 Pemain yang berada pada level tinggi tetap menjadi fokus meskipun
pemain lain mengambil jarak
133
Dalam gambar 66 pemain yang berdiri paling tinggi di antara
sekumpulan pemain mencuri perhatian dan menjadi fokus.
Meskipun posisi pemain disebar tetap saja pemain yang berdiri
paling tinggi menjadi pusat perhatian (Gb.67). Sementara dalam
gambar 68, pemain yang berdiri paling rendah justru menjadi
pusat perhatian karena pemain yang berdiri tinggi di kanan dan
kiri justru saling menghapuskan fokus.
Gb.68 Pemain yang berdiri di tengah menjadi fokus
Tata dekorasi pentas sering menggunakan bingkai dalam wujud
jendela, pintu atau bingkai yang lain. Selain sebagai penguat
artistik pementasan, bingkai dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan fokus.
Gb.69 Fokus dengan memanfaatkan bingkai
134
Gb.70 Pemain yang berada di tengah bingkai menjadi fokus
Pemain yang berada di dalam bingkai lebih memiliki kekuatan
dibanding dengan yang berada di luar bingkai. Dalam dua gambar
di atas (Gb.69 dan Gb.70) diperlihatkan bahwa posisi pemain
yang beradar di dalam bingkai lebih menarik perhatian dibanding
yang lainnya.
5.3.2.3 Trianggulasi
Untuk menciptakan fokus yang mudah dan natural adalah
menempatkan pemain dalam posisi segitiga. Setiap pemain akan mudah
terlihat oleh penonton dan mereka dapat melihat satu sama lain sehingga
perubahan gerak dan karakter akan lebih cepat ditangkap. Selain itu
posisi segitiga memudahkan perpindahan pemain dari titik satu ke titik
yang lain tanpa menghilangkan fokus. Penempatan pemain dengan
berdasar pada bentuk segitiga ini disebut trianggulasi. Banyak kreasi
segitiga yang bisa diwujudkan baik dengan jumlah pemain sedikit
ataupun banyak. Gambar di bawah ini (Gb.71, 72 dan Gb. 73)
memperlihatkan variasi fokus trianggulasi dengan jumlah pemain minimal
3 orang.
135
Gb.71 Variasi triangulasi 1
Gb.72 Variasi trianggulasi 2
Gb.73 Variasi trianggulasi 3
136
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pergeseran posisi satu
pemain dan pemain yang lain menghasilkan bocking yang tidak saling
menutupi. Semua dapat ditangkap dengan jelas oleh penonton. Pada
posisi ini fokus bisa berganti-ganti tergantung dari arah gerak dan laku
aksi yang diperagakan oleh pemain di atas pentas.
5.3.2.4 Individu dan Kelompok
Fokus juga dapat diciptakan dengan memisahkan satu orang
pemain dari sekelompok pemain yang ada. Penonton akan lebih tertarik
untuk melihat satu orang daripada sejumlah orang dalam sebuah
kelompok yang biasanya memiliki gestur, pose, dan aktivitas yang sama.
Gambar 74 dan 75 memperlihatkan penataan individu yang berjarak
dengan kelompok.
Gb.74 Fokus individu dari kelompok 1
Gb.75 Fokus individu dari kelompok 2
137
Gb.76 Fokus individu dari kelompok yang membentuk komposisi garis lurus
Gambar 76 memperlihatkan pemisahan individu dan kelompok,
dimana kelompok membentuk garis lurus. Sedangkan dalam gambar 77
kelompok membentuk setengah lingkaran sehingga energi dan perhatian
yang diberikan kepada individu menjadi lebih besar.
Gb.77 Fokus individu dari kelompok yang membentuk komposisi setengah
lingkaran
Selain memisahkan individu dari sekelompok pemain, fokus antara
individu dan kelompok dapat diciptakan dengan membedakan posisi.
138
Seorang pemain yang posisinya berbeda dari sekelompok pemain secara
otomatis akan lebih menarik perhatian penonton. Seseorang yang
jongkok di antara beberapa orang yang berdiri pasti memliki daya tarik
yang lebih kuat untuk dilihat, demikian juga sebaliknya.
Gb.78 Fokus dengan membedakan pose dan level pemain 1
Gb.79 Fokus dengan membedakan pose dan level pemain 2
Gambar 78 dan 79 memperlihatkan bahwa perhatian penonton akan
terarah pada pemaian yang berbeda di antara yang lain. Pembedaan
pose dan level ini tentu saja harus diikuti pembedaan laku aksi dalam
lakon. Misalnya, pemain yang mengambil pose berbeda adalah pimpinan
kelompok sehingga ia memiliki peran yang lebih besar daripada yang
lainnya.
139
5.3.2.5 Kelompok Besar
Menempatkan pemain dalam kelompok besar membutuhkan
teknik tersendiri karena dalam sebuah blocking kelompok tidak ada
individu yang lebih menonjol dari yang lain. Artinya, fokus atau perhatian
penonton ditujukan kepada sekelompok pemain. Untuk itu ada empat
teknik dasar yang bisa diterapkan, yaitu garis, lingkaran, setengah
lingkaran, dan segitiga.
Gb.80 Teknik garis
Penempatan pemain dengan teknik garis seperti gambar di atas
(Gb. 80) menguntungkan pemain, karena semua berada dalam posisi
sejajar sehingga tidak ada pemain yang lebih mononjol. Teknik ini dapat
diterapkan dengan membentuk satu atau lebih dari satu garis dengan
kombinasi tinggi rendah pemain. Dalam adegan chorus atau paduan
suara, penempatan kelompok dengan teknik garis sering digunakan.
Penempatan pemain dengan teknik lingkaran seperti gambar 81
sangat tidak menguntungkan karena sebagin pemain yang berdiri di
belakang tidak dapat dilihat oleh penonton. Meski demikian, teknik ini
seringkali digunakan dengan mengkombinasikan gerak kelompok.
Artinya, jika semua pemain dalam keadaan diam dalam waktu yang lama,
teknik lingkaran kurang menguntungkan tetapi jika semua pemain
bergerak bersama sehingga posisi antarpemain saling berpindah maka
teknik ini memiliki kekuatan fokus yang besar.
140
Gb.81 Teknik lingkaran 1
Gb. 82 Teknik lingkaran 2
Dalam bentuk lingkaran posisi pemain dapat dimodifikasi seperti
gambar 82. Pemain yang berada di depan mengambil posisi lebih rendah
dari pemain yang ada di belakang sehingga semua pemain dapat terlihat.
Hal ini menguntungkan karena posisi pemain dapat bertahan lama
meskipun dalam kondisi statis.
141
Bentuk setengah lingkaran, memliki keuntungan seperti teknik
garis (Gb. 83). Semua pemain terlihat. Tetapi bentuk ini secara
dimensional lebih menguntungkan tetapi untuk ruang pentas yang kecil
kurang menguntungkan. Bentuk setengah lingkaran membutuhkan
tempat yang lebih luas untuk memberi ruang kosong di tengah. Posisi ini
sering juga digunakan untuk chorus.
Gb.83 Teknik setengah lingkaran
Gb.84 Teknik segitiga
142
Penempatan kelompok pemain dengan teknik segitiga lebih
memiliki kemungkinan kreativitas. Dengan mengkombinasikan bentuk
segitiga masing-masing kelompok pemain dapat ditempatkan secara
proporsional sehingga tidak saling menutupi. Seperti dalam gambar 84,
semua pemain dapat dilihat oleh penonton sehingga penonjolan pemain
sangat tergantung dari aksi dan aktifitas peran yang dimainkan.
5.4 Mobilitas Pemain
Selain mengatur dan menempatkan posisi pemain di atas pentas,
blocking juga mengatur mobilitas atau perpindahan pemain dari titik satu
ke titik yang lain. Jika perpindahan para pemain tidak diatur dengan baik
maka lalulintas pemain akan menjadi semrawut sehingga fokus
pertunjukan menjadi kabur yang akibatnya makna lakon tidak sampai.
Untuk menghindari hal tersebut perlu diatur mobilitas pemain dengan
pertimbangan peristiwa, fokus, dinamika lakon, dan pengaturan arah
gerak.
Peristiwa memberikan gambaran watak kejadian yang ada di
atas panggung. Watak kejadian ini bisa digunakan sebagai
acuan untuk mengatur mobilitas pemain. Misalnya, dalam
peristiwa duka, perpindahan pemain dari titik satu ke titik
dilakukan dengan tenang. Pergerakan antarpemain dibatasi.
Sebaliknya dalam peristiwa kekacauan, perpindahan para
pemain dapat dilangsungkan dengan cepat.
Fokus yang telah ditetapkan pada pemain tertentu dalam
situasi tertentu harus didukung oleh mobilitas pemain lainnya.
Artinya, gerak, posisi, dan ekspresi pemain lain harus
menguatkan gerak, posisi, dan ekspresi pemain yang menjadi
fokus. Jika intensitas gerak semua pemain sama, maka fokus
tidak akan tercipta dan makna adegan yang dimaksudkan
melalui laku aksi pemain yang menjadi fokus menjadi kabur.
Hal ini mempengaruhi dinamika lakon secara keseluruhan.
Dinamika lakon mempengaruhi pergerakan pemain di atas
pentas. Perubahan situasi dalam jalinan peristiwa lakon harus
dibarengi dengan perubahan laku aksi setiap pemain yang
terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, mobilitas pemain perlu
diatur dan disesuaikan dengan dinamika laku lakon di atas
pentas.
Pengaturan arah gerak ditetapkan untuk mengatur pergerakan
dan perpindahan pemain secara teknis. Dengan mengatur
arah gerak setiap pemain, laku aksi menjadi kelihatan kaku
dan mekanis tetapi perpindahan pemain menjadi teratur
sehingga setiap laku aksi dapat ditangkap oleh mata
penonton.
Pengaturan mobilitas pemain seperti tersebut di atas merupakan hal
penting yang harus dipahami oleh sutradara. Tidak ada artinya seorang
143
pemain bermain dengan sangat baik jika pola gerak dan perpindahan
pemain lain tidak mendukung. Dalam teater, semua pemain, semua
peran memegang kedudukan yang sama karena saling mendukung untuk
menciptakan harmoni lakon. Oleh karena itu, mobilitas semua pemain
yang terlibat dalam pertunjukan harus diatur dengan baik sehingga
makna lakon yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh
penonton dan pertunjukan berjalan menarik.
6. Latihan-latihan
Sutradara membimbing para aktor selama proses latihan. Untuk
mendapatkan hasil terbaik sutradara harus mampu mengatur para aktor
mulai dari proses membaca naskah lakon hingga sampai materi pentas
benar-benar siap untuk ditampilkan. Kunci utama dari serangkaian latihan
adalah kerjasama antara sutradara dan aktor serta kerjasama antaraktor.
Sutradara perlu menetapkan target yang harus dicapai oleh aktor melalui
tahapan latihan yang dilakukan. Oleh karena itu, penjadwalan latihan
perlu dibuat.
Tabel.1 Perencanaan jadwal latihan
Dengan melaksanakan latihan sesuai jadwal maka aktor dituntut
kedisiplinan untuk memenuhi target capaian. Jadwal ini juga bisa
digunakan sebagai acuan kerja penata artistik sehingga ketika sesi
latihan teknik dilangsungkan pekerjaan mereka telah siap.
6.1 Membaca Teks
Tahap awal latihan teater adalah membaca. Sutradara
membacakan naskah lakon secara keseluruhan kepada aktor kemudian
menjelaskan maksud dari lakon tersebut. Pada sesi ini aktor boleh
bertanya kepada sutradara hingga semua menjadi jelas dan aktor
144
memahami maksud sutradara berkenaan dengan isi lakon. Setelah itu
para aktor membaca lakon secara bersama sesuai dengan karakter yang
akan diperankan.
Karakter tokoh yang ada dalam naskah lakon tidak tampak hidup
jika tidak dibaca dengan pemahaman. Yang dimaksud dengan
pemahaman di sini adalah “mengerti”. Langkah pertama dalam
pemahaman adalah menangkap “apa” maksud dari dialog karakter
tersebut. “Apa” merupakan kata kunci pertama dalam menghayati
karakter. Banyak aktor yang hanya mempelajari baris kalimatnya sendiri
dan secara instan mulai memutuskan, “Bagaimana saya harus
melakukan dialog ini, bagaimana saya harus mengatakannya?”. Tidak
seorangpun aktor dapat menjawab “bagaimana” sebelum tahu “apa”
maksud dari lakon tersebut.
Menjelaskan detil maksud lakon yang tertuang dalam dialog
karakter para tokohnya adalah tugas bersama aktor dan sutradara. Jika
aktor kesulitan memahami maksud dialog maka kewajiban sutradara
untuk menjelaskannya. Beberapa teknik membaca seperti di bawah ini
dapat dilakukan untuk mendapatkan maksud lakon secara detil;
Membaca keseluruhan lakon dengan pelan dan cermat
Membaca per suku kata dengan pelan dan teliti
Membaca per kata dengan pelan dan teliti
Membaca teks sebagai teks (tanpa mencoba mencari makna
kalimat) dengan pelan
Membaca dengan memperhatikan tanda baca dengan pelan
dan teliti
Mencari hubungan antara satu kata dengan kata lain, satu
kalimat dengan kalimat yang lain
Membaca dengan pemahaman
Menambah waktu khusus untuk membaca naskah secara
mandiri
6.2 Menghapal
Kerja menghapal dimulai sesegera mungkin setelah mendapatkan
naskah. Tidak perlu membayangkan blocking dalam menghapal teks.
Latihan baris-baris dialog yang ada dalam teks lakon bisa dilakukan
setiap hari. Semakin cepat dan tepat dalam menghapal maka proses
kerja berikutnya menjadi semakin mudah. Dalam satu proses latihan
sutradara berhak menetapkan target hapalan untuk para aktornya. Target
sutradara ini akan memacu para aktor untuk segera menghapal barisbaris
dialog yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk memudahkan kerja
menghapal beberapa teknik di bawah ini dapat dilakukan:
Membaca dialog secara keseluruhan dan diulang-ulang
Membaca bagian per bagian secara berulang-ulang
145
Membaca satu baris dialog kemudian langsung dihapalkan
setelahnya diikuti baris dialog selanjutnya
Menemukan kata kunci atau kata yang mudah diingat antara
dialog satu dengan yang lain
Menggunakan tape recorder untuk merekam pembacaan
dialog
6.3. Merancang Blocking
Lalu lintas perpindahan gerak pemain di atas pentas harus diatur
sedemikian rupa agar tidak terjadi kekacauan. Sutradara perlu menata
blocking pemain untuk memberikan kejelasan gerak, arah gerak, serta
penekanan-penekanan terhadap tokoh atau situasi tertentu. Rancangan
gambar blocking biasanya hanya melukiskan garis besar perpindahan
posisi pemain dari titik satu ke titik yang lain. Perpindahan ini akan
mempengaruhi posisi aktor yang lain. Gambar 85, 86, 87, dan 88
memperlihatkan bagaimana cara sutradara menggambarkan blocking
pemain.
Gb.85 Rancangan blocking 1
Gb.86 Rancangan blocking 2
146
Gb.87 Rancangan blocking 3
Gb.88 Rancangan blocking 4
6.4 Stop and Go
Stop and Go adalah proses latihan menghapal secara
keseluruhan atau per bagian. Di tengah proses, sutradara menghentikan
sebentar (stop) dan memberikan penjelasan atau arahan kemudian para
pemain mengulangi lagi adegan yang sama (go) sesuai arahan
sutradara. Teknik ini sangat baik dilakukan agar pemain tidak kehilangan
detil karakter yang diperankan (penghayatan peran). Sutradara dituntut
ketelitiannya dalam proses ini karena perubahan atau pembenahan yang
dilakukan akan mempengaruhi adegan berikutnya. Beberapa hal yang
bisa dibenahi dalam proses latihan stop and go:
Penghayatan karakter baik melalui wicara ataupun ekspresi
Blocking pemain bersesuaian dengan properti atau pemain
lain
Aksi dan reaksi di antara pemain
Teknik timming baik dalam aksi individu atau kelompok
Keselarasan adegan
147
6.5 Top-tail
Proses latihan top-tail dilakukan untuk menghapal rancangan
blocking yang telah ditetapkan oleh sutradara. Selain itu juga digunakan
untuk mengingat kunci akhir satu dialog dan awal dialog berikutnya atau
yang biasa disebut cue (kyu). Para aktor mempraktekkan blocking yang
ditetapkan oleh sutradara dengan mengucapkan baris awal dialog (top)
sebagai tanda mula dan mengucapkan baris akhir dialog (tail) sebagai
tanda berubahnya blocking. Latihan ini dilakukan berulang-ulang hingga
para aktor memahami desain blocking yang telah ditentukan. Proses toptail
penting dilakukan terutama untuk menyesuaikan tempat permainan,
dari studio latihan ke panggung atau dari panggung satu ke panggung
lain. Perubahan ukuran tempat latihan atau panggung pementasan akan
mempengaruhi blocking. Oleh karena itu, setiap berada di tempat yang
baru perlu proses adaptasi dengan latihan top-tail.
6.6 Run-through
Run-through adalah latihan hapalan naskah lakon secara
keseluruhan. Para aktor berlatih memainkan peran dari awal sampai akhir
cerita tanpa menggunakan naskah (lepas naskah). Dalam run-through
sutradara tidak menghentikan proses latihan yang sedang dilakukan.
Arahan atau kritik diberikan setelah latihan berakhir. Run-through tahap
pertama dapat dilakukan per bagian atau per babak yang disebut sebagai
run-thorugh kasar. Tahap berikutnya dilakukan secara menyeluruh.
Dalam latihan ini yang dipentingkan adalah hapalan dialog dan blocking
yang disesuaikan dengan ekspresi dan emosi karakter peran. Hal-hal
yang perlu diperhatikan oleh sutradara dalam proses ini adalah.
Ketepatan dialog
Irama
Penghayatan peran
Hubungan antara karakter satu dengan yang lain
Perpindahan adegan atau babak berkaitan dengan dinamika
lakon
Tensi dramatik
Blocking pemain
Kerjasama antarpemain
Ketersampaian pesan
6.7 Latihan Teknik
Latihan teknik merupakan proses pengenalan aktor dengan tata
panggung, busana, suara, cahaya dan piranti (property) lainnya. Latihan
teknik biasanya dilakukan pada hari-hari terakhir menjelang pertunjukan.
Hal ini dapat merusak keseluruhan rancangan pertunjukan dan membuat
kerja menjadi sia-sia. Para aktor yang sudah sekian lama berlatih peran
148
jika dibebani dengan hal-hal teknis menjelang pementasan akan
mempengaruhi karakter peran. Akibat yang paling fatal adalah karakter
yang telah lama dilatihkan justru tidak bisa ditemukan karena beban
teknis. Oleh karena itu, lakukan latihan teknik secara khusus paling tidak
seminggu sebelum pementasan dilakukan.
Pertama adalah piranti tangan (hand props). Segala hal yang
disentuh atau digunakan oleh aktor harus segera mungkin
dilatihkan agar menjadi kebiasaan. Misalnya, seorang aktor
harus menggunakan tongkat untuk berjalan, maka segera
mungkin ia berlatih dengan tongkat tersebut agar biasa
berjalan dengan tongkat, sehingga perannya nampak wajar
dan tidak dibuat-buat. Hal ini berlaku untuk piranti tangan lain,
seperti pedang, belati, tas jinjing, pipa cangklong, dan lain
sebagainya.
Kedua adalah tata panggung. Meskipun tidak komplet, tetapi
latihan dengan tata panggung atau set dekorasi perlu
dilakukan secara mendalam. Terutama dengan benda-benda
yang akan digunakan atau disentuh oleh aktor, misalnya kursi,
meja, pintu, vas bunga, lukisan dinding, dan lain sebagainya.
Jika dalam proses latihan benda-benda tersebut belum bisa
dihadirkan, maka bisa diganti dengan benda lain yang
menyerupai.
Ketiga adalah tata busana. Latihan dengan busana ini sangat
bermanfaat bagi para aktor. Berlatih dengan tata busana
idealnya dilakukan lebih awal, agar aktor memiliki waktu yang
cukup untuk membiasakan diri dengan busana tersebut.
Semakin sering aktor mengenakan busana pentas, maka ia
akan merasa mengenakan pakaiannya sendiri. Hal ini sangat
mempengaruhi laku peran, karena busana dapat memberikan
kesan berbeda bagi pemakainya. Kesan yang diharapkan
muncul melalui tata busana akan tampak jika aktor telah
terbiasa mengenakannya.
Keempat adalah tata lampu. Jika piranti tangan, tata
panggung, dan tata busana telah dipenuhi, maka berikutnya
adalah penyesuaian dengan tata lampu. Lampu memiliki
karakter khusus karena cahaya yang dihasilkan dapat
memberikan dimensi dan menambah hidup suasana. Oleh
karena itu, penataan cahaya tidak bisa dibarengkan dengan
latihan akting. Tata lampu menyesuaikan dengan warna set,
busana, segala piranti yang ada di panggung, dan suasana
yang dikehendai oleh sutradara. Setelah semuanya terpasang,
barulah latihan akting dengan tata lampu bisa dilaksanakan.
Dalam latihan ini, lampu menyesuaikan blocking dan fokus
yang dikehendaki. Untuk mencapai hasil maksimal, latihan
dengan tata lampu perlu dilakukan berulang-ulang.
149
Kelima adalah tata rias. Tata rias harus menyesuaikan tata
lampu. Intensitas dan warna cahaya dapat mempengaruhi tata
rias. Oleh karena itu, latihan dengan tata rias dilakukan
setelah penataan lampu, karena mengubah atau
menyesuaikan tata rias lebih mudah daripada mengubah tata
lampu.
Terakhir adalah tata suara. Biasanya, aktor tidak
menggunakan mikrofon. Mereka berbicara langung kepada
penonton. Tetapi dalam beberapa kasus tata suara untuk
pemain diperlukan, misalnya ada pemain yang menyanyi dan
menggunakan wireless mic di atas panggung, maka
pengaturan sound system perlu disesuaikan, demikian juga
dengan ilustrasi musik atau efek yang ingin dihasilkan melalui
sound system. Proses penataan sound sytem membutuhkan
waktu tersendiri dan tidak berkaitan langsung dengan latihan
akting.
Selain bersama dengan para aktor, akan lebih baik jika disediakan waktu
khusus bagi para teknisi atau unsur tata artistik untuk melakukan latihan
secara mandiri. Latihan ini merupakan latihan teknik dalam arti
sesungguhnya dimana para kru memasang, mengatur, dan
mengujicobakan piranti teknik sebelum benar-benar digunakan. Penataan
panggung dan lampu hendaknya mendapatkan waktu khusus karena
keduanya membutuhkan waktu penataan dan penyesuaian yang lebih
lama dibanding unsur tata artistik yang lain.
6.8 Dress Rehearsal
Setelah semua persyaratan untuk pementasan dipenuhi, maka
dress rehearsal atau latihan secara lengkap dan menyeluruh dapat
dilakukan. Alasan utama untuk menyelenggarakan dress rehearsal
adalah memberikan nuansa pementasan yang sesungguhnya kepada
para aktor dan seluruh kru pendukung teknik. Dengan demikian, semua
bisa mempelajari segala kekurangan dan mengetahui hal-hal yang perlu
disesuaikan dan diperbaiki.
Umumnya proses ini dilakukan dua atau bahkan tiga kali. Tahap
pertama dan yang kedua biasanya disebut dengan istilah gladi kotor.
Pada tahap ini, komentar, kritik, dan saran dapat diberikan baik dari
sutradara atau pengamat yang dihadirkan. Seluruh pemain dan kru masih
memiliki waktu untuk memperbaikinya. Akan tetapi, pada pelaksanaan
tahap akhir atau yang biasa disebut gladi bersih, pembenahan secara
teknis sudah tidak bisa lagi dikerjakan, melainkan hal-hal kecil yang
berkaitan dengan pemahaman serta semangat kebersamaan para
pemain dan kru bisa diperkuat.
Sutradara wajib memberikan catatan lisan atau tertulis kepada
seluruh pemain dan kru setelah melaksanakan dress rehearsal. Catatan
tersebut berfungsi sebagai:
150
Bentuk dari dukungan dan edukasi. Nasehat atau semangat
yang diberikan sutradara akan mempengaruhi sikap para
pemain dan kru sehingga persoalan yang ada bisa dihadapi
bersama.
Pengingat bahwa masalah bisa saja terjadi. Akan tetapi,
dengan saling memahami antara satu dengan yang lain, hal
itu bisa diatasi. Misalnya, dalam dress rehearsal kru panggung
salah menempatkan kursi, maka pemain bisa segera
mengatasi masalah tersebut secara improvisasi tanpa
mengganggu konsentrasi aktingya. Masalah ini selanjutnya
menjadi catatan kru agar tidak terulang lagi.
Penghargaan terhadap jerih payah kerja yang telah dilakukan.
Dalam hal ini sutradara diperkenankan memuji hasil kerja
seluruh pendukung sehingga semangat kerja akan menjadi
lebih baik dan kualitas kerja menjadi lebih sempurna.
Setelah melakukan dress rehearsal, maka seluruh pendukung
diperbolehkan untuk istirahat dan menyipakan diri untuk menghadapi
pentas yang sesungguhnya. Hal ini penting untuk mengembalikan energi
dan menenangkan pikiran. Tekanan kerja yang terlalu berat justru tidak
akan menghasilkan produk yang maksimal. Apalagi produk tersebut
adalah teater yang berkaitan langsung dengan sisi psikologis manusia.

Tidak ada komentar: