Pada mulanya pementasan teater tidak
mengenal sutradara.
Pementasan teater muncul dari
sekumpulan pemain yang memiliki
gagasan untuk mementaskan sebuah
cerita. Kemudian mereka berlatih
dan memainkkannya di hadapan penonton.
Sejalan dengan kebutuhan
akan pementasan teater yang semakin
meningkat, maka para aktor
memerlukan peremajaan pemain. Para
aktor yang telah memiliki banyak
pengalaman mengajarkan pengetahuannya
kepada aktor muda. Proses
mengajar dijadikan tonggak awal
lahirnya “sutradara”. Dalam terminologi
Yunani sutradara (director) disebut
didaskalos yang berarti guru dan
pada
abad pertengahan di seluruh Eropa
istilah yang digunakan untuk seorang
sutradara dapat diartikan sebagai master.
Istilah sutradara seperti yang
dipahami dewasa ini baru muncul
pada jaman Geroge II. Seorang
bangsawan (duke) dari Saxe-Meiningen
yang memimpin sebuah grup teater dan
menyelenggarakan pementasan
keliling Eropa pada akhir tahun
1870-1880. Dengan banyaknya jumlah
pentas yang harus dilakukan, maka kehadiran
seorang sutradara yang
mampu mengatur dan mengharmonisasikan
keseluruhan unsur artistik
pementasan dibutuhkan. Meskipun
demikian, produksi pementasan
teater Saxe-Meiningen masih
mengutamakan kerja bersama antarpemain
yang dengan giat berlatih untuk
meningkatkan kemampuan berakting
mereka (Robert Cohen, 1994).
Model penyutradaraan seperti yang
dilakukan oleh George II
diteruskan pada masa lahir dan
berkembangnya gaya realisme. Andre
Antoine di Perancis dengan Teater
Libre serta Stansilavsky di Rusia
adalah dua sutradara berbakat yang
mulai menekankan idealisme dalam
setiap produksinya. Max Reinhart
mengembangkan penyutradaraan
dengan mengorganisasi proses latihan
para aktor dalam waktu yang
panjang. Gordon Craig merupakan
seorang sutradara yang menanamkan
gagasannya untuk para aktor sehingga
ia menjadikan sutradara sebagai
pemegang kendali penuh sebuah
pertunjukan teater (Herman J. Waluyo,
2001). Berhasil tidaknya sebuah
pertunjukan teater mencapai takaran
artistik yang diinginkan sangat
tergantung kepiawaian sutradara. Dengan
demikian sutradara menjadi salah satu
elemen pokok dalam teater
modern.
Oleh karena kedudukannya yang tinggi,
maka seorang sutradara
harus mengerti dengan baik hal-hal
yang berhubungan dengan
pementasan. Oleh karena itu, kerja
sutradara dimulai sejak
merencanakan sebuah pementasan, yaitu
menentukan lakon. Setelah itu
tugas berikutnya adalah menganalisis
lakon, menentukan pemain,
menentukan bentuk dan gaya pementasan,
memahami dan mengatur
blocking
serta
melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan
97
seluruh pekerja artistik hingga karya
teater benar-benar siap untuk
dipentaskan.
1. Menentukan Lakon
Proses atau tahap pertama yang harus
dilakukan oleh sutradara
adalah menentukan lakon yang akan
dimainkan. Sutradara bisa memilih
lakon yang sudah tersedia (naskah
jadi) karya orang lain atau membuat
naskah lakon sendiri.
1.1 Naskah Jadi
Mementaskan teater dengan naskah yang
sudah tersedia memiliki
kerumitan tersendiri terutama pada
saat hendak memilih naskah yang
akan dipentaskan. Nskah tersebut harus
memenuhi kreteria yang
diinginkan serta sesuai dengan kondisi
yang ada di lapangan. Ada
beberapa pertimbangan yang dapat
dilakukan oleh sutradara dalam
memilih naskah, seperti tertulis di
bawah ini.
• Sutradara menyukai naskah yang dipilih. Jika sutradara
memilih naskah yang akan ditampilkan
dalam keadaan
terpaksa maka bisa dipastikan hasil
pementasan menjadi
kurang baik. Naskah yang tidak
dikehendaki akan membawa
pengaruh dan masalah tersendiri bagi
sutradara dalam
mengerjakannya, seperti analisis yang
kurang detil, pemilihan
pemain yang asal-asalan, keseluruhan
kerja menjadi tidak
optimal.
• Sutradara merasa mampu mementaskan naskah yang telah
dipilih. Mampu mementaskan sebuah
naskah tentunya tidak
hanya berkaitan dengan kecakapan
sutradara, tetapi juga
dengan unsur pendukung yang lain.
Semua sumber daya
dimiliki seperti pemain, penata
artsitik, dan pendanaan
menjadi pertimbangan dalam memilih
naskah yang akan
dipentaskan.
• Sutradara wajib mempertimbangkan sisi pendanaan secara
khusus.
Beberapa
naskah yang baik terkadang memiliki
konsekuensi logis dengan pendanaan.
Misalnya, naskah yang
dipilih memoiliki latar cerita di
rumah mewah dengan segala
perabot yang indah. Hal ini membawa
dampak tersendiri
dalam bidang pendanaan. Jika sutradara
merasa mampu
mengusahakan pendanaan secara optimal
untuk mewujudkan
tuntutan artistik lakon, maka naskah
tersebut bisa dipilih. Jika
tidak, sutradara harus mampu melakukan
adaptasi sehingga
pendanaan bisa dikurangi tanpa
mengurangi nilai artistik
lakon.
• Sutradara mampu menemukan pemain yang tepat. Naskah
lakon yang baik tidak ada gunanya jika
dimainkan oleh aktor
yang kurang baik. Oleh karena itu,
sutradara harus mampu
98
mengukur kualitas sumber daya pemain
yang dimiliki dalam
menentukan naskah yang akan
dipentaskan.
• Sutradara mampu tetap mementaskan naskah yang dipilih.
Tidak ada gunanya berlatih naskah
lakon tertentu dalam waktu
lama jika di tengah proses tiba-tiba
hal itu terhenti karena
alasan tertentu. Sutradara dengan
segenap kemampuannya
harus mampu meyakinkan pemain dan
mengusahakan
pertunjukan agar tetap digelar
sehingga proses yang telah
dilakukan tidak menjadi sia-sia.
1.2 Membuat Naskah Sendiri
Membuat naskah lakon sendiri tidak
menguntungkan karena akan
memperpanjang proses pengerjaan. Akan
tetapi berkenaan dengan
sumber daya yang dimiliki, membuat
naskah sendiri dapat menjadi pilihan
yang tepat. Untuk itu, sutradara harus
mampu membuat naskah yang
sesuai dengan kualitas sumber daya
yang ada. Naskah semacam ini
bersifat situasional, tetapi semua
orang yang terlibat menjadi senang
karena dapat mengerjakannya sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
Beberapa langkah di bawah ini dapat
dijadikan acuan untuk menulis
naskah lakon.
• Menentukan tema. Tema adalah gagasan dasar cerita atau pesan
yang akan disampaikan oleh pengarang
kepada penonton. Tema,
akan menuntun laku cerita dari awal
sampai akhir. Misalnya tema
yang dipilih adalah “kebaikan akan
mengalahkan kejahatan”,
maka dalam cerita hal tersebut harus
dimunculkan melalui aksi
tokoh-tokohnya sehingga penonton dapat
menangkap maksud
dari cerita bahwa sehebat apapun
kejahatan pasti akan
dikalahkan oleh kebaikan.
• Menentukan persoalan. Persoalan atau konflik adalah inti
dari
cerita teater. Tidak ada cerita teater
tanpa konflik. Oleh karena itu
pangkal persoalan atau titik awal
konflik perlu dibuat dan
disesuaikan dengan tema yang
dikehendaki. Misalnya dengan
tema “kebaikan akan mengalahkan
kejahatan”, pangkal persoalan
yang dibicarakan adalah sikap licik
seseorang yang selalu
memfitnah orang lain demi
kepentingannya sendiri. Persoalan ini
kemudian diikembangkan dalam cerita
yang hendak dituliskan.
• Membuat sinopsis (ringkasan cerita). Gambaran cerita secara
global dari awal sampai akhir
hendaknya dituliskan. Sinopsis
digunakan pemandu proses penulisan
naskah sehingga alur dan
persoalan tidak melebar. Dengan adanya
sinopsis maka
penulisan lakon menjadi terarah dan
tidak mengada-ada.
• Menentukan kerangka cerita. Kerangka cerita akan membingkai
jalannya cerita dari awal sampai
akhir. Kerangka ini membagi
jalannya cerita mulai dari pemaparan,
konflik, klimaks sampai
penyelesaian. Dengan membuat kerangka
cerita maka penulis
99
akan memiliki batasan yang jelas
sehingga cerita tidak berteletele.
William Froug (1993) misalnya, membuat
kerangka cerita
(skenario) dengan empat bagian, yaitu
pembukaan, bagian awal,
tengah, dan akhir. Pada bagian
pembukaan memaparkan sketsa
singkat tokoh-tokoh cerita. Bagian
awal adalah bagian
pengenalan secara lebih rinci
masing-masing tokoh dan titik
konflik awal muncul. Bagian tengah
adalah konflik yang
meruncing hingga sampai klimaks. Pada
bagian akhir, titik balik
cerita dimulai dan konflik
diselesaikan. Riantiarno (2003),
sutradara sekaligus penulis naskah
Teater Koma, menentukan
kerangka lakon dalam tiga bagian,
yaitu pembuka yang berisi
pengantar cerita atau sebab awal, isi
yang berisi pemaparan,
konflik hingga klimaks, dan penutup
yang merupakan simpulan
cerita atau akibat.
• Menentukan protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
membawa laku keseluruhan cerita.
Dengan menentukan tokoh
protagonis secara mendetil, maka tokoh
lainnya mudah
ditemukan. Misalnya, dalam persoalan
tentang kelicikan, maka
tokoh protagonis dapat diwujudkan
sebagi orang yang rajin,
semangat dalam bekerja, senang
membantu orang lain,
berkecukupan, dermawan, serta jujur.
Semakin detil sifat atau
karakter protagonis, maka semakin
jelas pula karakter tokoh
antagonis. Dengan menulis lawan dari
sifat protagonis maka
karakter antagonis dengan sendirinya
terbentuk. Jika tokoh
protagonis dan antagonis sudah
ditemukan, maka tokoh lain baik
yang berada di pihak protagonis atau
antagonis akan mudah
diciptakan.
• Menentukan cara penyelesaian. Mengakhiri sebuah persoalan
yang dimunculkan tidaklah mudah. Dalam
beberapa lakon ada
cerita yang diakhiri dengan baik
tetapi ada yang diakhiri secara
tergesa-gesa, bahkan ada yang bingung
mengakhirinya. Akhir
cerita yang mengesankan selalu akan
dinanti oleh penonton. Oleh
karena itu tentukan akhir cerita
dengan baik, logis, dan tidak
tergesa-gesa.
• Menulis. Setelah
semua hal disiapkan maka proses berikutnya
adalah menulis. Mencari dan
mengembangkan gagasan memang
tidak mudah, tetapi lebih tidak mudah
lagi memindahkan gagasan
dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu,
gunakan dan manfaatkan
waktu sebaik mungkin.
2. Analisis Lakon
Menganalisis lakon adalah salah satu
tugas utama sutradara.
Lakon yang telah ditentukan harus
segera dipelajari sehingga gambaran
100
lengkap cerita didapatkan. Dengan
analisis yang baik, sutradara akan
lebih mudah menerjemahkan kehendak
pengarang dalam pertunjukan.
2.1 Analisis Dasar
Analisis dasar adalah telaah
unsur-unsur pokok yang membentuk
lakon. Dalam proses analisis ini,
sutradara memepelajari seluruh isi lakon
dan menangkap gambaran lengkap lakon
seperti apa yang tertulis. Jadi,
dalam tahap ini sutradara hanya
membaca kehendak pengarang melalui
lakonnya. Unsur-unsur pokok yang harus
dianalisis oleh sutradara adalah
senagai berikut.
• Pesan Lakon. Merupakan bahan komunikasi utama yang
hendak disampaikan kepada penonton.
Berhasil atau tidaknya
sebuah pertunjukan teater diukur dari
sampai tidaknya pesan
lakon kepada penonton. Oleh karena
itu, sutradara wajib
menemukan pesan utama dari lakon yang
telah ditentukan.
Apa yang hendak disampaikan oleh
pengarang melalui
naskah lakon disebut pesan. Romeo and Juliet karya
Shakespeare mengandung pesan bahwa
seseorang yang
telah menemukan cinta sejati tidak
takut terhadap risiko
apapun termasuk mati. Pesan ini ingin
disampaikan oleh
pengarang dengan akhir yang tragis
dimana tokoh Romeo dan
Juliet akhirnya mati bersama. Dinamika
percintaan Romeo
dan Juliet yang berakhir dengan
kematian inilah yang harus
ditekankan oleh sutradara kepada
penonton.
• Konflik dan Penyelesaian. Penting mengetahui dasar
persoalan (konflik) dalam sebuah lakon
karena hal tersebut
akan membawa laku aksi para tokohnya.
Di bagian mana
konflik itu muncul dan bagaimana aksi
dan reaksi para
tokohnya, pada bagian mana konflik itu
memuncak, dan pada
akhirnya bagaimana konflik itu
diselesaikan. Semua ini akan
memberi sudut pandang bagi sutradara
dalam melihat,
menilai, dan memahami konflik lakon.
Selain itu sudut
pandang pengarang dalam menyelesaikan
konflik dapat
menegaskan pesan yang hendak
disampaikan.
• Karakter Tokoh. Analisis karakter tokoh sangat penting dan
harus dilakukan secara mendetil agar
sutradara mendapatkan
gambaran watak sejelas-jelasnya.
Karena tidak banyak
arahan dan keterangan yang dituliskan
mengenai karakter
tokoh dalam sebuah lakon, maka
sutradara harus
menggalinya melalui kalimat-kalimat
dialog. Perjalanan
sebuah karakter terkadang tidak
mengalami perubahan yang
berarti tetapi beberapa tokoh dalam
lakon (biasanya
protagonis dan antagonis) bisa saja
mengalami perubahan.
Oleh karena itu analisis karakter ini
harus dilakukan dengan
101
teliti dan hati-hati sehingga setiap
perubahan karakter yang
dialami oleh tokoh tidak lepas dari
pengamatan sutradara.
• Latar Cerita. Gambaran tempat kejadian, peristiwa, dan waktu
kejadian harus diungkapkan dengan
jelas karena hal ini
berkaitan dengan tata artistik. Untuk
mewujudkan keadaan
peristiwa seperti dikehendaki lakon di
atas panggung maka
informasi yang jelas mengenai latar
cerita harus didapatkan.
Misalnya, gambaran tempat kejadian
persitiwa adalah di
sebuah gedung maka harus dijelaskan
apakah terjadi di
sebuah gedung megah, sederhana atau
mewah. Apakah
gedung tersebut merupakan gedung
pertemuan, dewan kota,
museum, atau gedung pertunjukan. Di
gedung tersebut cerita
terjadi di ruang aula, teras gedung,
dapur umum, atau di salah
satu ruang khusus. Arsitektur gedung
itu apakah
menggunakan arsitektur kolonial, gaya
spanyol, atau ciri khas
daerah tertentu. Intinya informasi
sekecil apapun harus
didapatkan. Hal ini berlaku juga untuk
latar peristiwa dan
waktu. Semua informasi dikumpulkan dan
diseleksi untuk
kemudian diwujudkan dalam pementasan.
Dengan demikian
penonton akan mendapatkan gambaran
yang jelas latar cerita
yang dimainkan.
2.2 Interpretasi
Setelah menganalisis lakon dan
mendapatkan informasi lengkap
mengenai lakon, maka sutradara perlu
melakukan tafsir atau interpretasi.
Berdasarkan hasil analisis, sutradara
memberi sentuhan dan atau
penyesuaian artistik terhadap lakon
yang akan dipentaskan. Proses ini
bisa disebut sebagai proses asimilasi
(perpaduan) antara gagasan
sutradara dan pengarang. Seorang
sutradara sebetulnya boleh tidak
melakukan interpretasi terhadap lakon,
artinya, ia hanya sekedar
melakukan apa yang dikehendaki oleh
lakon apa adanya sesuai dengan
hasil analisis. Akan tetapi sangat
mungkin seorang sutradara memiliki
gagasan astistik tertentu yang akan
ditampilkan dalam pementasan
setelah menganalisa sebuah lakon.
Proses interpretasi biasanya
menyangkut unsur latar, pesan, dan
penokohan.
• Latar. Adaptasi
terhadap tempat kejadian peristiwa sering
dilakukan oleh sutradara. Secara
teknis hal ini berkaitan
dengan sumber daya yang dimiliki.
Misalnya, dalam lakon
mengehendaki tempat kejadian di sebuah
apartemen yang
mewah, tetapi karena ketersediaan
sumber daya yang kurang
memadahi maka bentuk penampilan
apartemen mewah
disesuaikan. Secara artistik, sutradara
dapat menafsirkan
tempat kejadian secara simbolis.
Misalnya, apartemen mewah
disimbolkan sebagai pusat kekuasaan
maka tata
panggungnya disesuaikan dengan
simbolisasi tersebut. Ketika
102
adaptasi ini dilakukan maka
unsur-unsur lain pun seperti tata
rias dan busana akan ikut terkait dan
mengalamu
penyesuaian. Penyesuaian inipun
berkaitan langsung dengan
latar waktu dan peristiwa. Jika
apartemen disimbolkan sebagai
pusat kekuasaan maka peristiwa yang
terjadi di dalamnya juga
harus mengikuti simbolisasi ini
sedangkan latar waktunya bisa
ditarik ke masa lalu atau masa kini
seperti yang dikehendaki
oleh sutradara. Oleh karena itulah
pentas teater dengan lakonlakon
yang sudah berusia lama seperti Oedipus, Antigone,
Romeo
and Juliet masih
aktual dipentaskan sekarang ini.
• Pesan. Hal
yang paling menarik mengenai penyampaian
pesan kepada penonton adalah caranya.
Cara menyampaikan
pesan antara sutradara satu dengan
yang lain bisa berbeda
meskipun lakon yang dipentaskan sama.
Cara menyampaikan
pesan ini menjadi titik tafsir lakon
yang penting karena pesan
inilah inti dari keseluruhan lakon.
Untuk menekankan pesan
yang dimaksud ada sutradara yang
memberi penonjolan pada
tata artistik, misalnya warna-warna
yang digunakan di atas
panggung. Ada juga sutradara yang
menonjolkan laku aksi
aktor di atas pentas sehingga adegan
dibuat dan dikerjakan
secara detil. Masing-masing cara
penonjolan pesan ini
mempengaruhi unsur-unsur lain dalam
pementasan. Dengan
demikian sutradara harus benar-benar
memikirkan cara
menyampaikan pesan lakon dengan
mempertimbangkan
unsur-unsur lakon dan sumber daya yang
dimiliki.
• Penokohan. Tafsir ulang terhadap tokoh lakon paling sering
dilakukan. Hal ini biasanya berkaitan
dengan isu atau topik
yang sedang hangat terjadi di
masyarakat. Tafsir ulang tokoh
tidak hanya sekedar mengubah nama dan
menyesuaikan
bentuk penampilan fisik, tetapi juga
mental, emosi, dan
keseluruhan watak tokoh. Misalnya,
sebuah lakon yang tokohtokohnya
memiliki latar belakang budaya Eropa
hendak
diadaptasi ke dalam budaya Indonesia.
Banyak hal yang harus
dilakukan selain mengganti nama dan
penampilan fisik, yaitu
cara berbicara, gaya berjalan, tata
krama, pandangan hidup,
takaran emosi dan cara berpikir.
Semuanya memliki
keterkaitan. Misalnya, dalam budaya
Eropa orang bepikir
secara bebas sementara orang Indonesia
cenderung
mempertimbangkan hal-hali lain (tata
krama, pranata sosial) di
luar hal utama yang dipikirkan. Hal
ini mempengaruhi hasil
pemikiran dan cara mengungkapkan hasil
pikiran tersebut.
Dengan demikian cara pandang sutradara
terhadap
keseluruhan lakon pun harus diubah
atau mengalami
penyesuaian.
103
2.3 Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis naskah
adalah konsep pementasan.
Dalam konsep ini sutradara menjelaskan
secara lengkap mengenai cara
menyampaikan pesan yang berkaitah
dengan pendekatan gaya
pementasan dan pendekatan pemeranan
serta memberikan gambaran
global tata artistik.
• Pendekatan gaya pementasan. Seniman teater dunia telah
banyak berusaha melahirkan gaya
pementasan. Dewasa ini
hampir tidak bisa ditemukan gaya
pementasan murni yang
dihasilkan seorang sutradara atau
pemikir teater. Setiap
kelahiran gaya baru memiliki
keterkaitan atau perlawanan
terhadap gaya tertentu (baca bagian sejarah teater). Oleh
karena itu, hal yang paling bisa
adalah mendekatkan gaya
pementasan dengan gaya tertentu yang
sudah ada. Istilah
pendekatan di sini digunakan dalam
arti sutradara tidak hanya
sekedar melaksanakan sebuah gaya
secara wantah (utuh)
tetapi ada pengembangan atau
penyesuaian di dalamnya.
Untuk itu, sutradara harus memahami
gaya-gaya pementasan.
Dengan demikian pendekatan yang
dilakukan tidak salah
sasaran. Konvensi atau aturan main
sebuah pertunjukan
diungkapkan dalam poin ini, misalnya,
karena menggunakan
pendekatan gaya presentasional, maka bahasa
dialog
antaraktor menggunakan bahasa yang
puitis. Gerak laku aktor
distilisasi atau diperindah. Aktor
boleh berbicara secara
langsung kepada penonton.
• Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pendekatan
gaya, maka metode pemeranan yang
dilakukan perlu
dituliskan. Hal ini sangat berguna
bagi aktor. Metode akting
berkaitan dengan pencapaian aktor
(standar) sesuai dengan
pendekatan gaya pementasannya.
Misalnya, penggunaan
bahasa puitis dengan sendirinya
membuat aktor harus mau
memahami dan melakukan latihan
teknik-teknik membaca
puisi agar dalam pengucapan dialog
tidak seperti percakapan
sehari-hari. Hal ini mempengaruhi
bentuk dan gaya
penampilan aktor dalam beraksi.
Sutradara harus membuat
metode tertentu dalam sesi latihan
pemeranan untuk
mencapai apa yang dinginkan.
• Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara harus
menuliskan gambaran (pandangan) tata
artistiknya. Meski
tidak secara mendetil, tetapi gambaran
tata artisitk berguna
bagi para desainer untuk mewujudkannya
dalam desain. Jika
sutradara mampu, maka ia bisa
memberikan gambaran tata
artistik melalui sketsa. Jika tidak,
maka ia cukup
menuliskannya. Di bawah ini contoh
sketsa tata artistik.
104
Gb.48 Contoh sketsa
tata panggung
Gambar 48 menunjukkan keinginan
sutradara untuk menghadirkan
rumah sederhana di lingkungan yang
tandus (berbatu) di atas pentas.
Gb.49 Contoh sketsa
tata busana Gb.50 Contoh sketsa tata rias
105
Gambar 49 menunjukkan keinginan
sutradara untuk mengkombinasikan
tata busana pelaut dan perompak. Topi
dan sepatu yang dikenakan
mengambil bentuk dari busana pelaut
sementara jaket dan belati
mengambil dari busana perompak. Dalam
gambar 50 sutradara
menginginkan tata rias dan rambut yang
natural. Tidak banyak modifikasi.
3. Memilih Pemain
Menentukan pemain yang tepat tidaklah
mudah. Dalam sebuah
grup atau sanggar, sutradara sudah
mengetahui karakter pemainpemainnya
(anggota). Akan tetapi, dalam sebuah
grup teater sekolah
yang pemainnya selalu berganti atau
kelompok teater kecil yang
membutuhkan banyak pemain lain
sutradara harus jeli memilih sesuai
kualifikasi yang dinginkan. Grup
teater tradisional biasanya memilih
pemain sesuai dengan penampilan fisik
dengan ciri fisik tokoh lakon,
misalnya dalam wayang orang atau
ketoprak. Akan tetapi, dalam teater
modern, memilih pemain biasanya
berdasar kecapakan pemain tersebut.
3.1 Fisik
Penampilan fisik seorang pemain dapat
dijadikan dasar
menentukan peran. Biasanya, dalam
lakon yang gambaran tokohnya
sudah melekat di masyarakat, misalnya
tokoh-tokoh dalam lakon
pewayangan, penentuan pemain berdasar
ciri fisik ini menjadi acuan
utama.
• Ciri Wajah. Berkaitan langsung dengan penampilan mimik
aktor. Meskipun kekurangan wajah bisa
ditutupi dengan tata
rias, tetapi ciri wajah pemain harus
diusahakan semirip
mungkin dengan ciri wajah tokoh dalam
lakon. Hal ini
dianggap dapat mampu melahirkan
ekspresi wajah yang
natural. Misalnya, dalam cerita Kabayan,
maka pemain harus
memiliki ciri wajah yang tampak tolol.
• Ukuran Tubuh. Dalam kasus tertentu, ukuran tubuh
merupakan harga mati bagi sebuah peran.
Misalnya, dalam
wayang wong, tokoh Bagong memiliki
ukuran tubuh tambun
(gemuk), maka pemain yang dipilih pun
harus memiliki tubuh
gemuk. Tidak masuk akal jika Bagong
tampil dengan tubuh
kurus.
• Tinggi Tubuh. Hal ini juga sama dengan ukuran tubuh. Tokoh
Werkudara (Bima) harus diperankan oleh
orang yang bertubuh
tinggi besar. Sutradara akan diprotes
oleh penonton jika
menampilkan Bima bertubuh kurus dan
pendek, karena tidak
sesuai dengan karakter dan akan
menyalahi laku lakon secara
keseluruhan.
• Ciri Tertentu. Ciri fisik dapat pula dijadikan acuan untuk
menentukan pemain. Misalnya, dalam
ketoprak, seorang yang
106
tinggi tapi bungkuk dianggap tepat
memainkan peran pendeta.
Seorang yang memiliki kumis, janggut,
dan brewok tebal
cocok diberi peran sebagai warok atau
jagoan.
3.2 Kecakapan
Menentukan pemain berdasar kecapakan
biasanya dilakukan
melalui audisi. Meskipun dalam
khasanah teater modern, sutradara dapat
menilai kecakapan pemain melalui
portofolio tetapi proses audisi tetap
penting untuk menilai kecakapan aktor
secara langsung.
• Tubuh. Kesiapan
tubuh seorang pemain merupakan faktor
utama. Tidak ada gunanya seorang aktor
bermain dengan
baik jika fisiknya lemah. Dalam sebuah
produksi yang
membutuhkan latihan rutin dan intens
dalam kurun waktu yang
lama ketahanan tubuh yang lemah
sangatlah tidak
menguntungkan. Untuk menilai kesiapan
tubuh pemain, maka
latihan katahanan tubuh dapat
diujikan.
• Wicara. Kemampuan
dasar wicara merupakan syarat utama
yang lain. Dalam teater yang
menggunakan ekspresi bahasa
verbal kejelasan ucapan adalah kunci
ketersampaian pesan
dialog. Oleh karena itu pemain harus
memiliki kemampuan
wicara yang baik. Penilaian yang dapat
dilakukan adalah
penguasan, diksi, intonasi, dan
pelafalan yang baik. Dengan
memberikan teks bacaan tertentu, calon
aktor dapat dinilai
kemampuan dasar wicaranya.
• Penghayatan. Menghayati sebuah peran berarti mampu
menerjemahkan laku aksi karakter peran
dalam bahasa verbal
dan ekspresi tubuh secara bersamaan.
Untuk menilai hal ini,
sutradara dapat memberikan penggalan
adegan atau dialog
karakter untuk diujikan. Calon aktor,
harus mampu
menyajikannya dengan penuh
penghayatan. Untuk menguji
lebih mendalam sutrdara juga dapat
memberikan penggalan
dialog karakter lain dengan muatan
emosi yang berbeda.
• Kecakapan lain. Kemampuan lain selain bermain peran
terkadang dibutuhkan. Misalnya,
seorang calon aktor yang
memiliki kemampuan menari, menyanyi
atau bermain musik
memiliki nilai lebih. Mungkin dalam
sebuah produksi ia tidak
memenuhi kriteria sebagai pemain utama,
tetapi bisa dipilih
sebagai seorang penari latar dalam
adegan tertentu. Untuk itu,
portofolio sangat penting bagi seorang
aktor profesional.
Catatan prestasi dan kemampuan yang
dimiliki hendaknya
ditulis dalam portofolio sehingga bisa
menjadi pertimbangan
sutradara.
107
4. Menentukan Bentuk dan Gaya Pementasan
Bentuk dan gaya pementasan membingkai
keseluruhan
penampilan pementasan. Penting bagi
sutradara untuk menentukan
dengan tepat bentuk dan gaya
pementasan. Bentuk dan gaya yang dipilih
secara serampangan akan mempengaruhi
kualitas penampilan. Kehatihatian
dalam memilih bentuk dan gaya bukan
saja karena tingkat
kesulitan tertentu, tetapi latar
belakang pengetahuan dan kemampuan
sutradara sangat menentukan. Di bawah
ini akan dibahas bentuk dan
gaya pementasan menurut penuturan
cerita, bentuk penyajian, dan gaya
penyajian. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan serta
membutuhkan kecakapan sutradara dalam
bidang tertentu untuk
melaksanakannya.
4.1 Menurut Penuturan Cerita
Ada dua jenis pertunjukan teater
menurut penuturan ceritanya,
yaitu berdasar naskah lakon dan
improvisasi. Teater tradisional biasanya
memilih imporivisasi karena semua
pemain telah memahami dengan baik
cerita yang akan dilakonkan dan
karakter tokoh yang akan diperankan.
Sebaliknya, teater modern menggunakan
naskah lakon sebagai sumber
penuturan. Meskipun beberapa kelompok
teater modern tertentu
memperbolehkan improvisasi (biasanya
lakon komedi situasi) tetapi
sumber utama dialognya diambil dari
naskah lakon.
4.1.1
Berdasar Naskah Lakon
Mementaskan teater berdasarkan naskah
lakon menjadi ciri
umum teater modern. Hal ini memiliki
kelebihan tersendiri, di antaranya
adalah sebagai berikut.
• Durasi waktu dapat ditentukan dengan pasti. Karena dialog
peran sudah ditentukan dan tidak boleh
ditambah atau
dikurangi maka durasi pementasan dapat
ditentukan. Dari
serangkaian latihan yang dikerjakan
secara rutin dan kontinyu
ditambah dengan unsur artistik dan
teknis maka lamanya
pertunjukan teater berdasar naskah
dapat ditetapkan. Bahkan
dalam produksi teater profesional yang
semuanya dirancang
dengan baik, lamanya adegan,
perpindahan antaradegan, dan
tanda keluar-masuk ilustrasi musik
atau pencahayaan
ditentukan waktunya sehingga setiap
detik sangat berharga
dan menentukan berhasil tidaknya
pertunjukan tersebut.
• Arahan dialog sudah ada. Sutradara tidak perlu menambah
atau mengurangi dialog yang sudah
tertulis dalam lakon
kecuali punya keinginan
mengadaptasinya. Tugas aktor
adalah menghapalkan dialog tersebut
dan mengucapkannya
dalam pementasan. Dalam lakon
terkadang arahan emosi
108
berkaitan dengan dialog juga
dituliskan sehingga sutrdara
lebih mudah dalam memantau emosi tokoh
yang diperankan
aktor.
• Arahan laku permainan dapat ditemukan dalam naskah.
Dengan mempelajari naskah, arahan laku
permainan dari awal
sampai akhir dapat ditemukan. Dengan
demikian, sutradara
mudah dalam membuat perencanaan blocking.
• Konflik dan penyelesaian tidak bekembang. Karena tidak ada
impovisasi, maka konflik dan
penyelesaian lakon pasti.
• Fokus permasalahan telah ditentukan. Sutradara menjadi
mudah menentukan penekanan
permasalahan lakon.
Pengembangan yang dilakukan hanyalah
persoalan sudut
pandang.
• Gambaran bentuk latar kejadian dapat ditemukan dalam
naskah.
Lakon
telah menyediakan gambaran lengkap laku
perisitiwa melalui dialog
tokoh-tokohnya. Gambaran ini sangat
penting bagi sutradara untuk
mewujudkannya di atas pentas.
Kalaupun hendak melakukan adaptasi
atau penyesuaian,
sutradara telah mendapatkan
gambarannya.
Di samping kelebihan tersebut di atas,
pementasan teater berdasar
naskah lakon juga memiliki kekurangan
dan problem tersendiri.
• Jika sumber daya yang dimiliki tidak sesuai dengan kehendak
lakon
harus dilakukan adaptasi.
Hal ini perlu dilakukan. Jika
memaksakan kehendak harus sesuai dengan
gagasan lakon,
maka kerja sutradara akan semakin
keras. Tergantung dari
kekurangan sumber daya yang dimiliki.
Jika sumber daya
manusia (aktor) yang kurang, maka
sutradara memerlukan
waktu ekstra untuk membimbing para
aktornya. Jika sumber
dana yang kurang maka tim poruduksi
harus berusaha keras
untuk memenuhi tuntutan tersebut. Jika
hendak menyesuaikan
dengan ketersediaan sumber daya, maka
adaptasi lakon
harus dilakukan. Sutradara perlu
meluangkan waktu untuk
melakukannya.
• Kreativitas aktor terbatas. Dengan ditentukannya arah laku
maka kreativitas aktor di atas
panggung menjadi terbatas.
Meskipun secara artistik tidak
masalah, tetapi karya teater
menjadi karya sutradara. Aktor tidak
memiliki kebebasan
penuh selain menerjemahkan konsep
artistik sutradara.
• Tidak memungkinkan pengembangan cerita. Cerita yang telah
dituliskan oleh pengarang harus
ditaati. Setuju atau tidak
setuju terhadap cerita, konflik, dan
penyelesaian konflik,
sutradara harus mengikutinya. Jika
sutradara hendak
mengembangkan cerita, konflik dan
mengubah cara
penyelesaian, ia harus mendapatkan
ijin dari penulis naskah
lakon. Jika ia tetap melakukannya,
maka sutradara telah
109
melanggar kode etik dan hak karya
artistik. Jika naskah lakon
tersebut telah dipublikasikan dalam
bentuk buku dan memiliki
hak cipta maka sutradara bisa dituntut
di muka hukum.
4.1.2
Improvisasi
Mementaskah teater secara improvisasi
memiliki keunikan
tersendiri. Sutradara hanya
menyediakan gambaran cerita selanjutnya
aktor yang mengembangkannya dalam
permainan. Beberapa kelebihan
pentas teater improvisasi adalah;
• Kreativitas sutradara dan aktor dapat dikembangkan seoptimal
mungkin. Sutradara dapat
mengembangkan cerita dengan
bebas dan aktor dapat mengembangkan
kemungkinan gaya
permainan dengan bebas pula. Dalam proses
latihan
terkadang sutradara mendapat inspirasi
dari laku aksi pemain
demikian pula sebaliknya. Dengan
berkembangnya cerita
maka aktor mendapatkan arahan laku
lain yang bisa
dicobakan.
• Arahan laku terbuka. Oleh karena tidak ada petunjuk arah
laku
yang jelas, maka aktor dapat
mengembangkannya. Terkadang
hal ini dapat menimbulkan efek
artistik yang alami dan
menarik.
• Konflik dan sudut pandang penyelesaian bisa dikembangkan.
Sifat teater improvisasi yang terbuka
memungkinkan
pengembangan konflik dan penyelesaian.
Dalam teater
tradisional, mereka biasanya menerima
pesan tertentu dari
penyelenggara. Pesan ini dengan luwes
dapat diselipkan
dalam lakon. Terkadang untuk
menyampaikan pesan titipan
tersebut konflik minor baru
dimunculkan. Setelah konflik ini
diselesaikan dengan cara yang khas dan
lucu maka cerita
kembali ke konflik semula.
• Memungkinkan percampuran bentuk gaya. Dalam teater
improvisasi gaya pementasan juga
terbuka. Misalnya, dalam
pertunjukan ketoprak sebuah adegan
dilakukan mengikuti
kaidah gaya presentasional (adegan
Istana), tetapi di adegan
lain menggunakan gaya realis (adegan
dagelan).
Pencampuran gaya ini dimaksudkan untuk
memenuhi selera
penonton.
• Cerita bisa disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki.
Salah satu kelebihan utama teater
improvisasi adalah cerita
dan pemeran dapat dibuat berdasarkan
sumber daya yang
dimiliki. Jika banyak pemain yang bisa
melucu maka cerita
komedi akan efektif, tetapi jika
jumlah pemain yang memiliki
kemampuan laga banyak, maka cerita
penuh aksi dapat
dijadikan pilihan. Kemampuan sumber
daya ini bisa dijadikan
strategi untuk membuat pertunjukan
menarik dan memiliki ciri
khas tertentu.
110
Di balik semua kelebihan di atas,
teater improvisasi juga memiliki
kekurangan yang patut diperhatikan
oleh sutradara.
• Durasi waktu tidak tertentu. Oleh karena cerita bisa
dikembangkan, maka durasi pementasan
bisa berubah-ubah.
Semua tergantung dari improvisasi
aktor di atas pentas.
Sutradara bisa memotong sebuah adegan
yang berjalan
cukup lama dengan membunyikan tanda agar
musik
dimainkan dan adegan segera
diselesaikan. Kekurangan dari
pemotongan adegan ini adalah jika inti
dialog (persoalan)
belum sempat terucapkan maka inti
dialog harus diucapkan
pada adegan berikutnya.
• Improvisasi dialog tidak berimbang. Dalam sebuah grup teater,
kemampuan setiap aktor pasti tidak
sama. Oleh karena itu,
jika sutradara tidak jeli memahami hal
ini, bisa jadi ia
memasangkan aktor yang memilliki
kemampuan tak
berimbang dalam improvisasi.
Akibatnya, dalam adegan
tersebut aktor yang satu terlalu aktif
dan yang lain pasif. Jika
hal ini terjadi cukup lama, maka akan
membosankan.
• Kualitas dialog tidak dapat distandarkan. Karena tidak ada
arahan dialog yang baku, maka kualitas
dialog tidak bisa
distandarkan. Bagi aktor yang memiliki
kemampuan sastra
memadai tidak jadi masalah, tetapi
bagi aktor yang kualitas
sastranya pas-pasan hal ini menjadi
masalah besar. Untuk itu,
meskipun improvisasi, latihan adegan
tetap harus sering
dilakukan.
• Kemungkinan aktor melakukan kesalahan lebih besar. Sifat
akting adalah aksi dan reaksi. Jika
seorang aktor beraksi,
maka aktor lawan mainnya harus
bereaksi. Karena arahan
laku yang terbuka maka reaksi ucapan
sering dilakukan
spontan dan belum tentu benar. Di
samping itu, kesalahan
ucap atau penyampaian informasi
tertentu bisa saja salah
karena memang tidak dicatat dan hanya
diingat garis
besarnya saja.
• Sutradara tidak bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya
pementasan.
Jika
pementasan sudah berjalan, maka
panggung sepenuhnya adalah milik
aktor. Sutradara tidak bisa
lagi mengendalikan jalannya
pertunjukan. Aktor mengambil
peran penuh. Karena sifatnya yang
serba terbuka, aktor bisa
mengembangkan cerita dan gaya
permainan di atas pentas
dan sutradara tidak bisa lagi
mengarahkan secara langung.
Jika dalam teater berbasis naskah,
lakon sebagai pengendali
cerita maka dalam teater imrpovisasi
aktor harus mampu
mengendalikan jalannya cerita.
111
4.2 Menurut Bentuk Penyajian
Banyaknya pilihan bentuk penyajian
pementasan teater membuat
sutradara harus jeli dalam menentukannya.
Jika tidak, sutradara akan
kerepotan sendiri. Oleh karena setiap
bentuk penyajian memiliki
kekhasan dan membutuhkan prasyarat
tertentu yang harus dipenuhi,
maka sutradara wajib mempelajari dan
memahami langkah-langkah
dalam melaksanakannya.
4.2.1
Teater Gerak
Teater gerak lebih banyak membutuhkan
ekspresi gerak tubuh
dan mimik muka daripada wicara. Pesan
yang tidak disampaikan secara
verbal membutuhkan keahlian tersendiri
untuk mengelolanya. Di bawah
ini beberapa langkah yang bisa diambil
oleh sutradara dalam menggarap
teater gerak
• Sutradara mampu mengeksplorasi dan menciptakan gerak.
Simbol dan makna yang disampaikan
melalui gerak harus
dikerjakan dengan teliti. Jika tidak,
maka maknanya akan
kabur. Sutrdara harus mampu
mengeksplorasi dan
menciptakan gerak sesuai dengan makna
pesan yang hendak
disampaikan.
• Memahami komposisi dan koreografi. Karena bekerja dengan
gerak, maka teori komposisi dan
koreografi dasar wajib dimiliki
oleh sutradara. Penataan gerak tidak
bisa dikerjakan dengan
serampangan, harus mempertimbangkan
makna pesan,
suasana, dan terutama musik
ilustrasinya. Untuk mendukung
rangkaian gerak yang telah diciptakan,
pengaturan pemain
perlu dilakukan. Meskipun rangkaian
gerak yang dihasilkan
sangat indah, tetapi jika komposisi
(tata letak) pemainnya tidak
berubah akan melahirkan kejenuhan.
• Mewujudkan bahasa dalam simbol gerak. Mengubah bahasa
dalam simbol gerak tidaklah mudah.
Apalagi jika sudah
menyangkut makna. Oleh karena itu,
sutradara harus bisa
mewujudkan bahasa verbal dalam simbol
gerak.
• Mewujudkan ekspresi melalui mimik para aktor. Ekspresi
emosi atau karakter peran harus bisa
diwujudkan melalui
mimik para aktor. Oleh karena
keterbatasan bahasa verbal
dalam pertunjukan teater gerak, maka
ekspresi mimik menjadi
sangat penting.
• Mengerti musik ilustrasi. Meskipun tidak bisa memainkan
musik, sutradara teater gerak harus
mengerti kaidah musik
ilustrasi. Kapan musik mengikuti gerak
pemain, kapan pemain
harus menyesuaikan dengan alunan
musik, kapan musik hadir
sebagai latar suasana, dan
perbedaannya harus dimengerti
oleh sutradara.
112
• Jika pemain dalam jumlah banyak, maka pengaturan blocking
harus
lebih teliti. Jumlah
pemain yang banyak menimbulkan
persoalan tersendiri, terutama
menyangkut komposisi. Jika
tidak pintar mengelola, maka banyaknya
jumlah pemain justru
akan memenuhi panggung dan membuat
suasana menjadi
sesak. Menempatkan pemain dalam posisi
dan gerak yang
tepat akan membuat pertunjukan semakin
menarik. Jika
jumlah pemain banyak dan harus
bergerak secara serempak,
maka dianjurkan untuk mengkreasi gerak
sederhana yang
mudah dilakukan. Jika gerak terlalu
sulit, maka irama rampak
gerak yang diharapkan bisa kacau.
• Jika pemain sedikit maka motif gerak harus lebih variatif.
Jumlah pemain bisa disiasati dengan menambah
perbendaharaan gerak. Motif gerak yang
kaya akan membuat
tampilan menjadi variatif dan
menyegarkan.
4.2.2
Teater Boneka
Teater boneka memiliki karakter yang
khas tergantung jenis
boneka yang dimainkan. Kewajiban
sutradara tidak hanya mengatur
pemain manusia, tetapi juga mengatur
permainan boneka. Di bawah ini
beberapa langkah yang bisa dikerjakan
oleh sutradara yang hendak
mementaskan teater boneka.
• Mampu memainkan boneka dengan baik. Banyak jenis
boneka dan masing-masing membutuhkan
teknik khusus
dalam memperagakannya. Boneka dua
dimensi seperti
wayang kulit memiliki teknik memainkan
berbeda dengan
boneka tiga dimensi seperti wayang
golek. Boneka wayang
golek memiliki teknik permainan yang
berbeda dengan boneka
marionette
yang
dimainkan dengan tali. Sutradara harus bisa
memainkan boneka tersebut.
• Mampu mengisi suara sesuai dengan karakter boneka.
Mengisi suara sesuai karakter boneka
menjadi prasyarat
utama. Karakter suara harus bisa
tampil secara konsisten dari
awal hingga akhir pertunjukan. Biasanya
seorang pemain
boneka bisa membuat beberapa karakter
suara yang berbeda.
• Mampu menghidupkan ekspresi boneka yang dimainkan.
Memainkan boneka bisa saja dipelajari,
tetapi memberikan
ekspresi hidup adalah hal yang lain.
Ekspresi selalu
menyangkut penghayatan dan
konsentrasi. Karena peran
diperagakan oleh boneka, maka karakter
boneka harus benarbenar
melekat sehingga pengendali boneka
seolah-olah bisa
memberikan nafas hidup di dalamnya.
Boneka yang
dimainkan dengan hidup akan menarik
dan tampak nyata.
• Jika pemain boneka banyak maka harus mampu mengatur
adegan
agar pergerakan boneka tidak saling mengganggu.
113
Jika lakon yang dimainkan membutuhkan
banyak peran, maka
pengaturan adegan harus dikerjakan
dengan teliti. Tempat
pertunjukan teater boneka yang
terbatas harus disesuaikan
dengan jumlah boneka yang tampil.
Selain itu, seorang
pengendali biasanya hanya bisa
mengendalikan maksimal dua
boneka, maka penampilan boneka yang
terlalu banyak juga
akan merepotkan para pengendalinya.
• Jika pemain sedikit harus memiliki kemampuan mengisi suara
dengan
karakter yang berbeda. Jumlah
pengendali boneka
yang sedikit tidak masalah asal setiap
orang mampu
menciptakan beberapa karakter suara.
Yang terpenting dan
perlu dicatat adalah setiap boneka
mempunyai karakter
suaranya sendiri.
• Mampu membangun kerjasama antarpemain boneka. Dalam
teater boneka kerjasama antarpemain
tidak hanya
menyangkut emosi, tetapi juga
menyangkut hal-hal teknis.
Keluar masuknya boneka di atas pentas
berkaitan langsung
dengan pengendali bonekanya. Oleh
karena itu, pengaturan
adegan boneka disesuaikan dengan
kemampuan pengendali.
Jika tidak ada kerjasama yang baik
antarpemain (pengendali
boneka), maka pergantian adegan bisa
semrawut sehingga
para pemain kewalahan.
4.2.3
Teater Dramatik
Mementaskan teater dramatik
membutuhkan kerja keras
sutradara terutama terkait dengan
akting pemeran. Oleh karena tuntutan
pertunjukan teater dramatik yang
mensyaratkan laku aksi seperti kisah
nyata, maka sutradara harus
benar-benar jeli dalam menilai setiap aksi
para aktor. Demikian juga dengan
suasana kejadian, semua harus
tampak natural, tidak dibuat-buat.
Beberapa langkah yang dapat
dikerjakan oleh sutradara dalam
menggarap teater dramatik adalah
sebagai berikut.
• Memahami tensi dramatik (dinamika lakon). Laku lakon dari
awal sampai akhir mengalami dinamika
atau ketegangan yang
turun naik. Sutradara harus memahami
bobot tegangan (tensi)
dramatik dalam setiap adegan yang ada
pada lakon. Jika pada
bagian awal konflik tegangan terlalu
tinggi, maka aktor akan
kesulitan meninggikan tegangan pada
saat klimaks. Hasil
akhirnya adalah anti klimaks di mana
pada adegan yang
seharusnya memiliki tensi tinggi
justru melemah karena energi
para aktornya telah habis. Untuk
menghindari hal tersebut
sutradara harus benar-benar teliti
dalam mengukur tegangan
dramatik adegan per adegan dalam
lakon. Jika dianalogikan
dengan nilai 1 sampai dengan 10, maka
sutradara harus
menetapkan tegangan optimal dan
minimal. Angka tertinggi
114
dari deret tegangan yang harus dicapai
oleh aktor adalah 8
atau 9, sehingga ketika dalam adegan
tertentu membutuhkan
tegangan yang lebih aktor masih bisa
mengejarnya. Intinya,
bijaksanalah dalam menentukan tegangan
dramatik adegan
dan buatlah klimaks yang mengesankan
dan penyelesaian
yang dramatis.
• Memahami sisi kejiwaan karakter peran. Hal yang paling sulit
dilakukan oleh sutradara adalah
membongkar kejiwaan
karakter peran dan mewujudkannya dalam
laku aktor di atas
pentas. Sisi kejiwaan yang menyangkut
perasaan karakter
peran harus dapat ditampilkan
senatural mungkin sehingga
penonton menganggap hal itu
benar-benar nyata terjadi. Di
sinilah letak kesulitannya, aktor
diharuskan berakting tetapi
seolah-olah ia tidak berakting
melainkan melakukan
kenyataan hidup. Jika sutradara tidak
memahami kejiwaan
karakter peran dengan baik maka
penilaiannya terhadap
kualitas penghayatan aktor pun kurang
baik. Jika demikian,
maka efek dramatik yang diharapkan
dari aksi aktor menjadi
gagal.
• Mampu meningkatkan kualitas pemeranan aktor untuk
menghayati
peran secara optimal. Berkaitan
dengan karakter
peran, sutradara harus dapat
menentukan metode yang tepat
agar para aktornya dapat memahami,
menghayati dan
memerankan karakter dengan baik.
Banyak sutradara yang
mengadakan semacam pemusatan latihan
dalam kurun waktu
yang cukup lama dengan tujuan agar
para aktornya berada
dalam suasana lakon yang akan
dipentaskan.
• Mampu menghadirkan laku cerita seperti sebuah kenyataan
hidup.
Langkah
pamungkas yang dapat dijadikan patokan
adalah menghadirkan pentas seperti
sebuah kenyataan hidup.
Membuat penonton terkesima dengan
pertunjukan tidaklah
mudah. Dalam teater dramatik, jika
melakonkan cerita yang
sedih ukuran keberhasilannya adalah
membuat penonton ikut
terhanyut sedih. Demikian pula dengan
cerita suka-ria, maka
penonton harus dibawa dalam suasana
yang suka-ria. Untuk
mencapai hasil maksimal maka kejelian
sutradara dalam
mengamati dan menangani keseluruhan
unsur pertunjukan
sangat dibutuhkan.
Kejanggalan-kejanggalan kecil yang dirasa
kurang masuk akal oleh penonton akan mengurangi
kualitas
dramatika lakon yang dihadirkan.
Teater dramatik adalah
teater yang mencoba meniru peristiwa
kehidupan secara total
dan sempurna. Jadi, hindarilah
kesalahan atau hal yang tidak
lumrah dan berada di luar jangkauan
nalar penonton.
115
4.2.4
Drama Musikal
Kemampuan multi harus dimiliki oleh
seorang sutradara jika
hendak mementaskan drama musikal.
Bahasa ungkap yang beragam
antara bahasa verbal, lagu, gerak, dan
musikal harus dirangkai secara
harmonis untuk mencapai hasil
maksimal. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan sutradara dalam drama
musikal adalah sebagai berikut.
• Mengerti karya musik dramatik. Sutradara tidak harus bisa
memainkan musik, tetapi memahami karya
musik merupakan
keharusan dalam drama musikal. Peranan
musik sangat
doniman dalam drama musikal bahkan
musik bisa hadir
secara mandiri untuk menceritakan
sesuatu. Artinya, musik itu
sendiri sudah bercerita sehingga
pemain atau penari yang
berada di atas panggung hanyalah
pelengkap gambaran
peristiwa. Pada adegan lain, peran
musik bisa menjadi
pengiring lagu yang bercerita,
pengiring gerak, dan ilustrasi
suasana kejadian. Kepiawaian sutradara
dalam menentukan
kegunaan karya musik yang satu dengan
yang lain benarbenar
dibutuhkan. Jika karya drama musikal
tersebut berawal
dari karya musik murni (musik yang
bercerita) seperti The
Cats
karya
Andrew Lloyd Webber, maka sutradara harus
benar-benar piawai dalam mengolah
visualisasinya di atas
pentas.
• Mengerti lagu dan nyanyian. Peranan dialog verbal yang
digubah dalam bentuk lagu dan diucapkan
melalui nyanyian
adalah satu hal yang membutuhkan
perhatian tersendiri.
Ketepatan nada dalam nyanyian serta
ekspresi wajah ketika
menyanyi juga tidak boleh luput dari
pengamatan. Banyak
penyanyi yang memiliki suara baik
tetapi ekspresinya datar,
demikian pula sebaliknya. Sutradara
harus mampu
memecahkan masalah dasar tersebut.
Lagu dan nyanyian
harus bisa ditampilkan secara baik dan
harmonis.
• Mampu membuat gerak dan ekspresi berdasar karya musik.
Pada adegan dimana musik bercerita
secara mandiri maka
sutradara harus mampu
memvisualisasikan cerita tersebut di
atas pentas. Memilih pelaku yang tepat
dan membuat
komposisi atau koreografi berdasar
karya musik yang ada.
Ekspresi cerita melalui nada-nada
musik harus benar-benar
bisa divisualisasikan dengan tepat.
• Mampu membuat gerak, komposisi, dan koreografi. Dalam
satu adegan saat cerita diungkapkan
melalui gerak, maka
sutradara harus mampu menciptkan
koreografinya. Dalam hal
ini musik bertindak sebagai pengiring.
Makna cerita
sepenuhnya dituangkan dalam wujud
gerak. Dituntut
kepiawaian sutradara dalam memilih dan
merangkai motif
gerak. Meskipun sutradara bekerja
dengan seorang
koreografer, tetapi makna dan atau
simbolisasi cerita harus
116
benar-benar bisa diwujudkan dalam
gerak tarian yang
dilakukan. Koreografer bisa saja
mencipta gerak, tetapi pada
akhirnya sutradara yang memutuskan.
4.2.5
Teatrikalisasi Puisi
Menciptakan karya teater berdasarkan
puisi yang bercerita
membutuhkan keahlian tersendiri. Sifat
puisi berbeda dengan lakon
(sastra drama), maka sutradara harus
mampu meramu bait-bait pusisi ke
dalam bentuk teatrikal. Beberapa hal
di bawah ini dapat dijadikan acuan
sutradara yang hendak mementaskan
teatrikalisasi puisi.
• Memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Sutradara harus
memahami karya sastra dalam bentuk
puisi. Lebih mudah jika
puisi tersebut sudah terjalin menjadi
satu cerita. Jika karya
puisi masih terpisah-pisah - bisa
dengan satu pencipta atau
lebih – sutradara harus dapat
menjalinnya menjadi sebuah
cerita yang memenuhi syarat untuk diangkat
dalam bentuk
teater. Syarat cerita teater adalah
adanya “konflik”. Jika ada
konflik, maka secara otomatis harus
ada penyebab dan
penyelesaiannya. Puisi yang sudah
dirangkai sesuai dengan
prasyarat ini bisa diangkat ke dalam
bentuk teater. Yang perlu
diingat adalah kesatuan tema dan gaya
puisi. Kalau gaya
masing-masing puisi berbeda, maka
rangkaian yang
dihasilkan hanya merupakan sekumpulan
puisi sehingga
bentuk pementasannya menjadi kumpulan
sketsa.
• Memahami teknik membaca puisi. Teknik membaca puisi
berbeda dengan teknik wicara dalam
teater. Ada kaidahkaidah
tertentu yang harus dipahami oleh
sutradara, misalnya
pemenggalan kata, irama pengucapan,
dan penekanan
makna. Jika teknik membaca dipahami
dan dikuasai dengan
baik, maka sutradara akan dapat melatihkannya
ke aktor.
Selain itu, kemungkinan bentuk
pengembangan (gaya
pengucapan) akan terbuka lebih lebar
dan terarah.
• Mewujudkan makna puisi dalam gerak, ekspresi, dan laku
aktor.
Teatrikalisasi
puisi bisa ditampilkan dengan
menambahkan komposisi gerak. Hal ini
bertujuan untuk
menegaskan gambaran makna puisi yang
disampaikan. Bagi
aktor yang mengucapkan baris-baris
puisi, maka tugas
sutradara adalah mengatur keselarasan
gerak, ekspresi, dan
pengucapan kalimat puisi tersebut.
Ketiga unsur ini harus
saling mendukung dan menguatkan.
Sementara, pemain lain
yang memberikan latar gerak, komposisi
dan irama geraknya
diatur untuk mendukung pemain utama.
Semua mengacu
pada harmonisasi.
• Mengubah puisi dalam bentuk koreografi atau nyanyian. Untuk
menambah daya tarik terkadang
bait-bait puisi diubah dalam
117
bentuk gerak atau diubah menjadi lagu.
Kemampuan
sutradara untuk menemukan alternatif
media ungkap puisi
sangat diperlukan. Bentuk gerak dan
nyanyian hanyalah salah
satunya. Jika sutradara menemukan
bentuk ungkap lain, maka
hal tersebut harus diterapkan dengan
baik demi mendukung
harmonisasi. Banyaknya ragam media
ungkap puisi membuat
pertunjukan menjadi kaya.
• Menghadirkan musik ilustrasi yang tepat. Musik pengiring
merupakan unsur yang penting dalam
teatrikalisasi puisi.
Dalam pementasan pembacaan puisi,
seniman biasanya
menambahkan musik pengiring. Usaha
yang cukup berhasil ini
membawa puisi ke dalam dimensi yang
lebih dalam dan itu
membawa pengaruh kuat dalam
pementasan. Usaha ini
kemudian dilestarikan para seniman
sehingga dalam pentas
baca puisi, kehadiran musik pengiring
menjadi penting. Tanpa
musik pengiring, pertunjukan
teatrikalisasi puisi menjadi
hambar. Dengan alasan ini, maka
sutradara harus mampu
memilih jenis karya musik yang tepat
untuk mengiringi setiap
adegan. Sutradara diharapkan
bekerjasama dengan penata
musik, tetapi arahan utama atau
gagasan pengadeganan
tetap ada pada sutradara. Penata musik
hanya
menerjemahkan kehendak sutradara ke
dalam komposisinya.
Selanjutnya sutradara memberi penilaian
baik (tepat) tidaknya
komposisi tersebut dalam adegan.
4.3 Menurut Gaya Penyajian
Sejak sejarah kelahirannya, teater
telah memunculkan berbagai
macam gaya pementasan. Para seniman
teater tidak pernah berhenti
menggali visualisasi artistik
pementasan. Beberapa gaya pementasan
yang dilahirkan ada yang bertahan
hingga saat ini dan banyak yang tidak
lama bertahan. Gaya pementasan yang
bertahan biasanya memiliki daya
tarik yang kuat dan membuat seniman
lain ikut melakukannya. Jika gaya
tersebut dilakukan dalam kurun waktu
yang lama oleh seniman berbeda
dalam berbagai produksi, maka
ciri-ciri dari gaya tersebut berubah
menjadi konvensi (pakem). Pertunjukan
teater yang menjalankan
konvensi tertentu dengan ketat disebut
sebagai teater konvensional.
Untuk membedakan, pertunjukan teater
dengan gaya lain yang masih
membuka kemungkinan pengembangan dan
belum menetapkan
konvensi disebut sebagai teater non
konvensional.
4.3.1
Konvensional
Mementaskan teater konvensional
membutuhkan kecermatan dan
kedisiplinan dalam menerapkan
konvensi. Mentaati konvensi terkadang
tidak mudah karena kemungkinan bentuk
pengembangannya menjadi
118
sangat terbatas. Jika tidak hati-hati
gagasan baru untuk pengembangan
justru bertolak belakang dari konvensi
yang ada. Banyak polemik lahir
mengenai ketaatan konvensi, terutama
dalam teater tradisional. Hal ini
biasanya berkaitan dengan penyebutan
nama dan prasyarat yang
mengikutinya. Misalnya, untuk menyebut
pertunjukan teater yang
bernama ludruk maka aturan-aturan
pertunjukan ludruk harus dipenuhi.
Di bawah ini adalah langkah-langkah
yang bisa diterapkan sutradara
yang ingin mementaskan teater
konvensional.
• Memilih jenis teater konvensional. Banyak sekali jenis teater
konvensional, terutama di Indonesia.
Setiap teater tradisional
bisa disebut sebagai teater
konvensional. Ludruk, randai,
ketoprak, longser, lenong, wayang
wong, semua dapat
digolongkan ke dalam teater
konvensional. Di Asia terdapat
noh, kyogen, bunraku (Jepang),
sandiwara bangsawan, mak
yong (Malaysia), lakhon (Thailand,
Myanmar). Di Barat, semua
teater sejak belum lahirnya realisme
disebut teater
konvensional. Bahkan dewasa ini
realisme dan beberapa
gaya teater modern lain yang
ciri-cirinya sudah melembaga
bisa disebut sebagai teater
konvensional. Sutradara harus
memilih jenis teater konvensional yang
hendak dipentaskan
sesuai dengan kemampuannya.
• Memahami konvensi. Untuk mementaskan teater ini sutradara
harus memahami dengan baik konvensi
(pakem) yang ada.
Meskipun konvensi tersebut bersifat
normatif tetapi
pemberlakuannya ketat apalagi jika
jenis teater tersebut telah
digolongkan sebagai teater klasik.
Setiap jenis teater
konvensional memiliki aturan yang
berbeda. Misalnya, aturan
pertunjukan ludruk berbeda dengan
randai, ketoprak, wayang
wong, longser, dan lain sebagainya. Meskipun
terdapat
beberapa unsur kesamaan tetapi ciri
khas masing-masing
jenis teater tersebut berbeda. Hal ini
berlaku juga untuk teater
di Barat, jenis teater konvensional
yang ada misalnya gaya
presentasional (klasik) dan
represantisonal (realis) memliki
konvensi yang sangat berbeda.
Sutradara harus benar-benar
memahami konvensi jenis teater
konvensional yang dipilih.
• Dapat menjalankan konvensi dengan konsisten. Karena
konvensi ini harus dilakukan, maka
sutradara harus mau dan
mampu menjalankannya secara konsisten.
Misalnya, dalam
sebuah konvensi pemain harus menari
ketika keluar-masuk
panggung maka sutradara diharuskan
mentaatinya. Jika ada
pemain yang tidak bisa menari, maka ia
harus melatihnya atau
memanggilkan pelatih untuk mengajari
menari. Jika sutradara
putus asa dan memperbolehkan para
pemain tidak menari
ketika keluar-masuk panggung, maka ia
telah menyalahi
konvensi dan bisa jadi menuai kritikan
tajam dari para
pengamat dan pelaku teater
konvensional.
119
• Mampu bekerja dengan semua unsur dalam mewujudkan
konvensi.
Konvensi
sebuah pertunjukan terkadang tidak hanya
menyangkut laku pemain, tetapi juga
unsur pendukung lain,
misalnya tata busana dan musik.
Misalnya, dalam wayang
wong, tata rias-busana pewayangan
(meniru tokoh wayang
dalam wayang kulit) serta gamelan
merupakan keharusan.
Oleh karena itu sutradara harus mampu
bekerja dengan
semua unsur yang menjadi prasyarat
sebuah konvensi.
Biasanya dalam hal ini sutradara
mengangkat beberapa
penasehat untuk memberikan arahan
dalam bidang-bidang
yang tidak dikuasai (secara langsung)
dengan baik oleh
sutradara. Menjaga konvensi sebuah
pertunjukan sangat
berarti bagi pelestarian sebuah
tradisi.
4.3.2
Non Konvensional
Teater non konvensional memiliki
kemungkinan yang sangat
terbuka bagi pengembangan artistik dan
sudut pandang. Eksperimentasi
sangat dimungkinkan. Pencobaan model
penyajian, bentuk
pemanggungan, laku lakon sampai bentuk
dan gaya akting dapat
dikerjakan. Akan tetapi, semua harus
disikapi dengan kreativitas artistik
yang positif. Di bawah ini beberapa
hal yang dapat diperhatikan oleh
sutradara yang hendak menyajikan
pementasan teater non konvensional.
• Memahami dasar-dasar penciptaan teater. Dasar penciptaan
teater baik secara teori dan praktik
harus dikuasai oleh
sutradara. Dasar penciptaan selanjutnya
dapat dijadikan
pijakan untuk melahirkan kreasi
artistik yang baru.
Pengetahuan yang perlu dipahami oleh
sutradara adalah
sejarah teater sampai munculnya
kreasi-kreasi penciptaan
dalam teater. Hal ini penting karena
kreativitas teater bisa
dilahirkan dari berbagai rangsang dan
imajinasi. Proses kreatif
seniman terkadang melahirkan kehendak
kreatif bagi seniman
yang lain. Oleh karena itu,
mempelajari proses penciptaan
teater dari para tokoh teater adalah
wajib. Banyak pekerja
teater pemula yang merasa telah
melahirkan gagasan kreatif
baru dan memplubikasikan karya
tersebut secara luas, tetapi
ketika ditelaah lebih teliti karya
yang dikerjakannya adalah
pengulangan dari karya yang pernah
dikerjakan oleh seniman
sebelumnya. Keadaan ini sering terjadi
karena faktor distribusi
informasi yang tidak baik dan sang
pelaku tidak mau
meningkatkan pengetahuannya.
• Kreatif. Sifat
kreatif harus dimiliki oleh sutradara. Tawarantawaran
kreatif harus mampu dilahirkan jika
ingin menyajikan
bentuk pementasan yang baru dan
menarik perhatian.
• Inovatif. Jiwa
inovasi atau mampu menciptakan yang belum
ada dan mengembangkan yang sudah ada
wajib dimiliki.
120
Melihat persoalan dari berbagai sudut
pandang adalah cara
yang paling mudah untuk menjelaskan
proses inovasi. Dengan
melihat persoalan dari beragam sudut
pandang, maka
peluang-peluang kreasi yang belum
tersentuh dapat digali.
Stanislawsky melakukan inovasi hebat
dalam hal metode
pemeranan demi mencapai tujuan
artistik gaya realisme.
Grotowski melalui berbagai usahanya
menyajikan pertunjukan
dalam bentuk panggung yang kreatif dan
provokatif sehingga
menarik minat penonton. Inovasi
terbuka lebar bagi yang mau
membuka pikiran.
• Merancang dan menjelaskan konsep pertunjukan secara
menyeluruh.
Gagasan
dasar yang dimiliki harus dijelaskan
dalam sebuah konsep sehingga semua
yang terlibat di
dalamnya memahami. Dalam rancangan
konsep, semua
pertanyaan yang timbul harus bisa
dijawab. Misalnya, dalam
sebuah pertunjukan, sutradara
menghendaki semua
pemainnya melakukan gaya akrobatik
dalam berakting, maka
segala hal yang melatari lahirnya
gagasan tersebut serta
tujuan dari pentas itu harus
dijelaskan dengan jelas. Apa yang
akan dicapai oleh sutradara secara
artsitik, apa yang akan
ditawarkan kepada penonton melalui
bentuk pertunjukan
tersebut. Semua harus mampu dijelaskan
sutradara sehingga
karya yang dihasilkan memiliki konsep
yang kuat dan tidak
hanya sekedar lain dari yang lain.
• Mewujudkan konsep melalui aktor dan seluruh unsur
pendukung.
Setelah
menjelaskan dalam tataran wacana,
sutradara harus mampu mewujudkannya
melalui para aktor
dan unsur pendukung artistik yang
lain. Misalnya, untuk
memenuhi tuntutan aksi akrobatik,
sutradara memanggil
pelatih sirkus dan melatih para aktor
melakukan berbagai jenis
akrobat. Tata panggung dibuat
sedemikian rupa sehingga
mendukung aksi akrobat yang dilakukan.
Tata busana pun
harus dirancang dengan baik agar tidak
mengganggu aksi
yang dilakukan. Semua unsur harus
mendapatkan perhatian,
termasuk penataan adegan, pola dialog,
blocking, ilustrasi
musik, dan lain sebagainya. Semuanya
harus diatur,
diarahkan, dan dijalin dengan
memperhatikan harmonisasi.
Banyak pertunjukan yang mencoba
menawarkan sesuatu
yang baru, tetapi masih bersifat
tambal sulam dan unsurunsurnya
tidak menyatu.
5. Blocking
Sutradara diwajibkan memahami cara
mengatur pemain di atas
pentas. Bukan hanya akting tetapi juga
blocking. Secara mendasar
blocking
adalah
gerakan fisik atau proses penataan (pembentukan) sikap
121
tubuh seluruh aktor di atas panggung. Blocking dapat
diartikan sebagai
aturan berpindah tempat dari titik
(area) satu ke titik (area) yang lainnya
bagi aktor di atas panggung. Untuk
mendapatkan hasil yang baik, maka
perlu diperhatikan agar blocking yang
dibuat tidak terlalu rumit, sehingga
lalulintas aktor di atas panggung
berjalan dengan lancar. Jika blocking
dibuat terlalu rumit, maka perpindahan
dari satu aksi menuju aksi yang
lain menjadi kabur. Yang terpenting
dalam hal ini adalah fokus atau
penekanan bagian yang akan
ditampilkan. Fungsi blocking secara
mendasar adalah sebagai berikut.
• Menerjemahkan naskah lakon
ke dalam sikap tubuh aktor
sehingga penonton dapat melihat dan
mengerti.
• Memberikan pondasi yang
praktis bagi aktor untuk
membangun karakter dalam pertunjukan.
• Menciptakan lukisan panggung
yang baik.
Dengan blocking
yang
tepat, kalimat yang diucapkan oleh aktor menjadi
lebih mudah dipahami oleh penonton. Di
samping itu, blocking dapat
mempertegas isi kalimat tersebut. Jika
blocking dikerjakan dengan baik,
maka karakter tokoh yang dimainkan
oleh para aktor akan tampak lebih
hidup.
5.1 Pembagian Area Panggung
Gb.51 Pembagian lima
belas area panggung
Akn = Atas Kanan, AknT = Atas Kanan Tengah, AT = Atas Tengah, AkrT = Atas Kiri
Tengah, Akr = Atas Kiri, Kn = Kanan, TKn = Tengah Kanan, T = Tengah, TKr = Tengah
Kiri, Kr = Kiri, BKn = Bawah Kanan, BKnT = Bawah Kanan Tengah, BT = Bawah
Tengah, BKrT = Bawah Kiri Tengah, BKr = Bawah Kiri
122
Untuk membuat atau merencanakan blocking bagi
para pemain,
perlu diketahui terlebih dahulu
pembagian area panggung. Panggung
pertunjukan secara kompleks dibagi
dalam lima belas area, yaitu tengah,
tengah
kanan, tengah kiri, kanan, kiri, bawah tengah, bawah kanan
tengah,
bawah kiri tengah, bawah kanan, bawah kiri, atas tengah, atas
kanan
tengah, atas kiri tengah, atas kanan, dan atas
kiri. Pembagian
panggung dalam lima belas area ini
biasanya digunakan untuk panggung
yang berukuran besar.
Letak kanan dan kiri atau atas dan
bawah ditentukan berdasar
pada arah hadap aktor ke penonton.
Kanan adalah kanan pemain dan
bukan kanan penonton dan kiri adalah
kiri pemain. Atas adalah jarak
terjauh dari penonton, sedangkan bawah
adalah jarak terdekat dengan
penonton, sedangkan kanan adalah
posisi kanan arah hadap aktor atau
sisi kiri penonton.
Secara sederhana dan umum panggung
dibagi sembilan area,
yaitu tengah,
tengah kanan, tengah kiri, bawah tengah, bawah kanan,
bawah
kiri, atas tengah, atas kanan, dan atas kiri. Panggung yang tidak
terlalu luas jika dibagi menjadi lima
belas area, maka luas masing-masing
area akan terlalu sempit sehingga
tidak memungkinkan sebuah
pergerakan yang leluasa baik untuk
pemain maupun perabot. Pembagian
sembilan area juga memudahkan
sutradara dalam memberikan arah
gerak kepada para aktornya.
Gb.52 Pembagian
sembilan area panggung
AKn = Atas Kanan, AT = Atas Tengah, AKr = Atas Kiri, TKn = Tengah Kanan,
T = Tengah, TKr
=
Tengah Kiri, BKn = Bawah
Kanan, BT = Bawah Tengah,
BKr = Bawah Kiri
123
5.2 Komposisi
Komposisi dapat diartikan sebagai
pengaturan atau penyusunan
pemain di atas pentas. Sekilas
komposisi mirip dengan blocking.
Bedanya, blocking
memiliki
arti yang lebih luas karena setiap gerak, arah
laku, perpindahan pemain serta
perubahan posisi pemain dapat disebut
blocking. Sedangkan komposisi,
lebih mengatur posisi, pose, dan tinggirendah
pemain dalam keadaan diam (statis).
Pengaturan posisi pemain
seperti ini dilakukan agar semua
pemain di atas pentas dapat dilihat
dengan jelas oleh penonton. Ada dua
ragam komposisi pemain, yaitu
komposisi
simetris dan
komposisi asimetris yang ditata dengan
mempertimbangkan keseimbangan.
5.2.1
Simetris
Komposisi simetris adalah komposisi
yang membagi pemain
dalam dua bagian dan menempatkan
bagian-bagian tersebut dalam
posisi yang benar-benar sama dan
seimbang. Jika digambarkan
komposisi ini mirip cermin. Bagian
yang satu merupakan cerminan bagian
yang lain. Di bawah ini adalah contoh
komposisi simetris.
Gb.53 Komposisi
simteris
5.2.2
Asimetris
Komposisi asimetris tidak membagi
pemain dalam dua bagian
yang sama persis, tetapi membagi
pemain dalam dua bagian atau lebih
dengan tujuan memberi penonjolan
(penekanan) bagian tertentu. Di
bawah ini contoh komposisi asimetris.
124
Gb.54 Komposisi
asimetris
5.2.3
Keseimbangan
Dalam menata komposisi pemain di atas
pentas hal yang paling
penting untuk diperhatikan adalah
keseimbangan. Keseimbangan adalah
pengaturan atau pengelompokan aktor di
atas pentas yang ditata
sedemikian rupa sehingga tidak
menghasilkan ketimpangan. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi ruang dan
menghindari komposisi aktor yang
berat sebelah. Jika salah satu ruang
dibiarkan kosong sementara ruang
yang lain terisi penuh, maka hal ini
akan menimbulkan pemandangan
yang kurang menarik dan jika hal ini
berlangsung lama, maka penonton
akan menjadi jenuh.
Gb.55 Komposisi yang seimbang
Gambar di atas memperlihatkan
komposisi yang seimbang,
meskipun jumlah pemain di sisi kanan
dan kiri berbeda. Jumlah pemain
yang banyak diimbangi dengan pemain
tunggal yang mengambil jarak
dengan memanfaatkan area lain yang
kosong.
125
Gambar di bawah memperlihatkan
ketidakseimbangan komposisi
karena posisi atau kedudukan pemain
berat sebelah sehingga areal
panggung yang lain nampak kosong.
Komposisi seperti ini jika
berlangsung dalam waktu yang cukup
lama akan memberikan gambaran
yang jelek dan membuat mata penonton
lelah.
Gb.56 Komposisi tak
seimbang
5.3 Fokus
Dalam mengatur blocking,
hal yang paling utama untuk
diperhatikan sutradara adalah
perhatian penonton. Setiap aktivitas,
karakter, perubahan ekspresi dan aksi
di atas pentas harus dapat
ditangkap mata penonton dengan jelas.
Oleh karena itu, pengaturan
blocking
harus
mempertimbangkan pusat perhatian (fokus) penonton. Hal
ini dapat dikerjakan dengan
menempatkan pemain dalam posisi dan
situasi tertentu sehingga ia lebih
menonjol atau lebih kuat dari yang
lainnya.
5.3.1
Prinsip Dasar
Pada dasarnya fokus adalah membuat
pemain menjadi terlihat
jelas oleh mata penonton. Oleh karena
itu, prinsip-prinsip dasar di bawah
ini dapat digunakan sebagai petunjuk
dalam menempatkan posisi dan
mengatur pose pemain.
• Kurangilah menempatkan
pemain dalam posisi menghadap
lurus ke arah penonton atau menyamping
penuh. Usahakan
pemain menghadap diagonal (kurang
lebih 45 derajat) ke arah
penonton. Menghadap lurus ke arah
penonton akan
memberikan efek datar dan kurang
memberikan dimensi
kepada pemain, sedangkan menyamping
penuh akan
menyembunyikan bagian tubuh yang lain.
Dengan menghadap
secara diagonal, maka dimensi dan
keutuhan tubuh pemain
126
akan dilihat dengan jelas oleh mata
penonton. Gambar di
bawah memperlihatkan pemain dengan
pose menyamping,
diagonal, dan ke depan. Jika
diperhatikan dengan seksama,
pemain dengan pose diagonal lebih
memiliki dimensi
dibandingkan pemain dengan pose yang
lain.
Gb.57 Pose arah hadap
pemain
• Jika pemain hendak
melangkah, maka awali dan akhiri
langkah tersebut dengan kaki panggung
atas (yang jauh dari
mata penonton). Jika melangkah dengan
kaki panggung
bawah (yang dekat dari mata penonton),
maka kaki yang jauh
akan tertutup dan wajah pemain secara
otomatis akan
menjauh dari mata penonton. Hal ini
menjadikan gerak pemain
kurang terlihat dengan jelas. Gambar
di bawah
memperlihatkan pemain yang melangkah
menggunakan kaki
panggung bawah dan kaki panggung atas.
Pemain yang
melangkah dengan kaki panggung atas
tampak lebih luwes
dan memberi keluasan pandangan bagi
penonton
127
Gb.58 Gerak langkah
pemain
Gb.59 Pose menunjuk
128
• Gunakan lengan atau tangan
panggung atas (yang jauh dari
mata penonton) untuk menunjuk ke arah
panggung atas dan
gunakan lengan atau tangan panggung
bawah (yang dekat
dengan mata penonton) untuk menunjuk
ke panggung bawah.
Jika yang dilakukan sebaliknya, maka
gerakan lengan dan
tangan akan menutupi bagian tubuh
lain. Gambar di atas
memperlihatkan pemain yang menunjuk
dengan lengan
panggung atas nampak lebih serasi dan
memberi keluasan
pandangan.
• Jangan pernah memegang
benda atau piranti tangan di depan
wajah ketika sedang berbicara, karena
hal ini akan menutupi
suara dan pandangan penonton. Gambar
di bawah
memperlihatkan betapa mengganggunya
memegang piranti
(telepon) dengan menutupi muka. Jika
tangan yang digunakan
adalah tangan yang tidak menganggu
pandangan penonton,
maka gerak laku aktor dalam
menggunakan telepon akan
kelihatan. Hal ini mempertegas laku
aksi yang sedang
dikerjakan.
Gb.60 Cara memegang
piranti
• Usahakan agar para aktor
saling menatap (berkontak mata)
pada saat mengawali dan mengakhiri
dialog (percakapan).
Selebihnya, usahakan untuk berbicara
kepada penonton atau
kepada aktor lain yang berada di atas
panggung. Membagi
arah pandangan ini sangat penting
untuk menegaskan dan
memberi kejelasan ekspresi karakter
kepada penonton.
129
Perhatikan gambar aktor yang melakukan
kontak mata ketika
berbicara di bawah ini.
Gb.61 Aktor saling
kontak mata
5.3.2
Teknik
Marsh Cassady (1997) menyebutkan
beberapa teknik untuk
menciptakan fokus pemain di atas
panggung, di antaranya dengan
memanfaatkan area panggung,
memanfaatkan tata panggung,
trianggulasi, individu dan kelompok,
serta kelompok besar.
5.3.2.1
Memanfaatkan Area Panggung
Dalam tata panggung, suatu area
memiliki kekuatan berbeda
dibanding area yang lain. Kekuatan
dalam makna blocking di sini adalah,
area yang lebih mudah mendapat
perhatian mata penonton. Semua area
panggung kelihatan sama jika dalam
keadaan kosong, tetapi setelah para
aktor hadir di dalamnya, maka segera
perhatian penonton akan tertuju ke
area tertentu yang lebih kuat
dibanding area lain. Secara umum, area
tengah, area terdekat dengan penonton,
serta jarak area, dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan fokus.
• Area tengah, secara natural lebih kuat jika dibandingkan
dengan area di sisi kiri atau kanan.
Pemain yang berada di
tengah secara otomatis menjadi pusat
perhatian penonton
sementara pemain yang berada di sisi
kanan dan kirinya seolaholah
hadir sebagai penyeimbang. Gambar 62
menunjukkan
bahwa pemain yang berada di tengah
menjadi pusat perhatian.
Gambar 63 juga menunjukkan hal yang
sama, meskipun jumlah
pemain di sisi kanan dan kiri lebih
banyak tetapi tetap saja
pemain yang berada di tengah menjadi
pusat perhatian.
130
Gb.62 Pemain yang
berada di tengah menjadi fokus
Gb.63 Pemain yang
berada di tengah tetap menjadi fokus meskipun jumlah
pemain di sisi kiri
dan kanan lebih banyak
• Area terdekat dengan penonton lebih memiliki
kekuatan
dibanding dengan area yang jauh dari
mata penonton. Gambar
64 di bawah ini memperlihatkan bahwa
secara otomatis
perhatian penonton akan mengarah pada
pemain yang berada
lebih dekat daripada yang berdiri di
area yang jauh. Mata
penonton secara otomatis akan
menangkap objek yang lebih
dekat dan jelas. Hal ini memberikan
jawaban mengapa dalam
pertunjukan teater tradisional pemain
yang berbicara dan
hendak melontarkan pernyataan penting
selalu mendekat ke
arah penonton. Mereka ingin menjadi
pusat perhatian.
131
Gb.64 Pemain yang
berada lebih dekat dengan penonton menjadi fokus
perhatian
• Jarak area satu dengan yang lain jika
dimanfaatkan dengan
baik dapat menciptakan fokus. Dengan
analogi yang lebih
terang akan lebih mudah terlihat, maka
jarak antararea dapat
digunakan untuk memberi penonjolan
pada pemain tertentu.
Dalam gambar 65 di bawah diperlihatkan
bahwa seorang
pemain yang menjaga jarak dari
sekelompok pemain akan lebih
mudah dan enak dilihat.
Gb.65 Pemain yang
mengambil jarak dari sekelompok pemain akan menjadi
fokus
132
5.3.2.2
Memanfaatkan Tata Panggung
Tata panggung, sesederhana apapun
dapat dimanfaatkan untuk
menciptakan fokus. Dengan sedikit
kejelian, tata dekorasi pentas
menghasilkan ruang yang dapat dimaknai
secara khusus untuk
kepentingan fokus pemain.
• Dengan memanfaatkan posisi
tinggi rendah pemain menurut
tatanan set dekor yang ada, fokus
dapat diciptakan. Posisi
pemain yang berdiri di ketinggian
biasanya lebih kuat jika
dibanding dengan pemain yang ada di
bawah. Tetapi jika ada
dua pemain yang sama tingginya, maka
pemain yang berada di
bawah justru akan menjadi fokus karena
kedudukan tinggi dua
pemain akan saling menghapuskan
kekuatan satu sama lain.
Gb.66 Pemain yang
lebih tinggi dari pemain lain menjadi fokus
Gb.67 Pemain yang
berada pada level tinggi tetap menjadi fokus meskipun
pemain lain mengambil
jarak
133
Dalam gambar 66 pemain yang berdiri
paling tinggi di antara
sekumpulan pemain mencuri perhatian
dan menjadi fokus.
Meskipun posisi pemain disebar tetap
saja pemain yang berdiri
paling tinggi menjadi pusat perhatian
(Gb.67). Sementara dalam
gambar 68, pemain yang berdiri paling
rendah justru menjadi
pusat perhatian karena pemain yang
berdiri tinggi di kanan dan
kiri justru saling menghapuskan fokus.
Gb.68 Pemain yang
berdiri di tengah menjadi fokus
• Tata dekorasi pentas sering
menggunakan bingkai dalam wujud
jendela, pintu atau bingkai yang lain.
Selain sebagai penguat
artistik pementasan, bingkai dapat
dimanfaatkan untuk
menciptakan fokus.
Gb.69 Fokus dengan
memanfaatkan bingkai
134
Gb.70 Pemain yang
berada di tengah bingkai menjadi fokus
Pemain yang berada di dalam bingkai
lebih memiliki kekuatan
dibanding dengan yang berada di luar
bingkai. Dalam dua gambar
di atas (Gb.69 dan Gb.70)
diperlihatkan bahwa posisi pemain
yang beradar di dalam bingkai lebih
menarik perhatian dibanding
yang lainnya.
5.3.2.3
Trianggulasi
Untuk menciptakan fokus yang mudah dan
natural adalah
menempatkan pemain dalam posisi
segitiga. Setiap pemain akan mudah
terlihat oleh penonton dan mereka
dapat melihat satu sama lain sehingga
perubahan gerak dan karakter akan
lebih cepat ditangkap. Selain itu
posisi segitiga memudahkan perpindahan
pemain dari titik satu ke titik
yang lain tanpa menghilangkan fokus.
Penempatan pemain dengan
berdasar pada bentuk segitiga ini
disebut trianggulasi. Banyak kreasi
segitiga yang bisa diwujudkan baik
dengan jumlah pemain sedikit
ataupun banyak. Gambar di bawah ini
(Gb.71, 72 dan Gb. 73)
memperlihatkan variasi fokus
trianggulasi dengan jumlah pemain minimal
3 orang.
135
Gb.71 Variasi
triangulasi 1
Gb.72 Variasi
trianggulasi 2
Gb.73 Variasi trianggulasi
3
136
Dari gambar di atas dapat diketahui
bahwa pergeseran posisi satu
pemain dan pemain yang lain
menghasilkan bocking yang tidak saling
menutupi. Semua dapat ditangkap dengan
jelas oleh penonton. Pada
posisi ini fokus bisa berganti-ganti
tergantung dari arah gerak dan laku
aksi yang diperagakan oleh pemain di
atas pentas.
5.3.2.4
Individu dan Kelompok
Fokus juga dapat diciptakan dengan
memisahkan satu orang
pemain dari sekelompok pemain yang
ada. Penonton akan lebih tertarik
untuk melihat satu orang daripada
sejumlah orang dalam sebuah
kelompok yang biasanya memiliki
gestur, pose, dan aktivitas yang sama.
Gambar 74 dan 75 memperlihatkan
penataan individu yang berjarak
dengan kelompok.
Gb.74 Fokus individu
dari kelompok 1
Gb.75 Fokus individu
dari kelompok 2
137
Gb.76 Fokus individu
dari kelompok yang membentuk komposisi garis lurus
Gambar 76 memperlihatkan pemisahan
individu dan kelompok,
dimana kelompok membentuk garis lurus.
Sedangkan dalam gambar 77
kelompok membentuk setengah lingkaran
sehingga energi dan perhatian
yang diberikan kepada individu menjadi
lebih besar.
Gb.77 Fokus individu
dari kelompok yang membentuk komposisi setengah
lingkaran
Selain memisahkan individu dari
sekelompok pemain, fokus antara
individu dan kelompok dapat diciptakan
dengan membedakan posisi.
138
Seorang pemain yang posisinya berbeda
dari sekelompok pemain secara
otomatis akan lebih menarik perhatian
penonton. Seseorang yang
jongkok di antara beberapa orang yang
berdiri pasti memliki daya tarik
yang lebih kuat untuk dilihat,
demikian juga sebaliknya.
Gb.78 Fokus dengan
membedakan pose dan level pemain 1
Gb.79 Fokus dengan
membedakan pose dan level pemain 2
Gambar 78 dan 79 memperlihatkan bahwa
perhatian penonton akan
terarah pada pemaian yang berbeda di
antara yang lain. Pembedaan
pose dan level ini tentu saja harus
diikuti pembedaan laku aksi dalam
lakon. Misalnya, pemain yang mengambil
pose berbeda adalah pimpinan
kelompok sehingga ia memiliki peran
yang lebih besar daripada yang
lainnya.
139
5.3.2.5
Kelompok Besar
Menempatkan pemain dalam kelompok
besar membutuhkan
teknik tersendiri karena dalam sebuah
blocking kelompok tidak ada
individu yang lebih menonjol dari yang
lain. Artinya, fokus atau perhatian
penonton ditujukan kepada sekelompok
pemain. Untuk itu ada empat
teknik dasar yang bisa diterapkan,
yaitu garis, lingkaran, setengah
lingkaran, dan segitiga.
Gb.80 Teknik garis
Penempatan pemain dengan teknik garis seperti
gambar di atas
(Gb. 80) menguntungkan pemain, karena
semua berada dalam posisi
sejajar sehingga tidak ada pemain yang
lebih mononjol. Teknik ini dapat
diterapkan dengan membentuk satu atau
lebih dari satu garis dengan
kombinasi tinggi rendah pemain. Dalam
adegan chorus atau paduan
suara, penempatan kelompok dengan
teknik garis sering digunakan.
Penempatan pemain dengan teknik
lingkaran seperti gambar 81
sangat tidak menguntungkan karena
sebagin pemain yang berdiri di
belakang tidak dapat dilihat oleh
penonton. Meski demikian, teknik ini
seringkali digunakan dengan
mengkombinasikan gerak kelompok.
Artinya, jika semua pemain dalam
keadaan diam dalam waktu yang lama,
teknik lingkaran
kurang
menguntungkan tetapi jika semua pemain
bergerak bersama sehingga posisi
antarpemain saling berpindah maka
teknik ini memiliki kekuatan fokus
yang besar.
140
Gb.81 Teknik
lingkaran 1
Gb. 82 Teknik
lingkaran 2
Dalam bentuk lingkaran posisi pemain
dapat dimodifikasi seperti
gambar 82. Pemain yang berada di depan
mengambil posisi lebih rendah
dari pemain yang ada di belakang
sehingga semua pemain dapat terlihat.
Hal ini menguntungkan karena posisi
pemain dapat bertahan lama
meskipun dalam kondisi statis.
141
Bentuk setengah lingkaran, memliki
keuntungan seperti teknik
garis (Gb. 83). Semua pemain terlihat.
Tetapi bentuk ini secara
dimensional lebih menguntungkan tetapi
untuk ruang pentas yang kecil
kurang menguntungkan. Bentuk setengah
lingkaran membutuhkan
tempat yang lebih luas untuk memberi
ruang kosong di tengah. Posisi ini
sering juga digunakan untuk chorus.
Gb.83 Teknik setengah
lingkaran
Gb.84 Teknik segitiga
142
Penempatan kelompok pemain dengan
teknik segitiga lebih
memiliki kemungkinan kreativitas.
Dengan mengkombinasikan bentuk
segitiga masing-masing kelompok pemain
dapat ditempatkan secara
proporsional sehingga tidak saling
menutupi. Seperti dalam gambar 84,
semua pemain dapat dilihat oleh
penonton sehingga penonjolan pemain
sangat tergantung dari aksi dan
aktifitas peran yang dimainkan.
5.4 Mobilitas Pemain
Selain mengatur dan menempatkan posisi
pemain di atas pentas,
blocking juga mengatur mobilitas atau
perpindahan pemain dari titik satu
ke titik yang lain. Jika perpindahan
para pemain tidak diatur dengan baik
maka lalulintas pemain akan menjadi
semrawut sehingga fokus
pertunjukan menjadi kabur yang
akibatnya makna lakon tidak sampai.
Untuk menghindari hal tersebut perlu
diatur mobilitas pemain dengan
pertimbangan peristiwa, fokus,
dinamika lakon, dan pengaturan arah
gerak.
• Peristiwa memberikan
gambaran watak kejadian yang ada di
atas panggung. Watak kejadian ini bisa
digunakan sebagai
acuan untuk mengatur mobilitas pemain.
Misalnya, dalam
peristiwa duka, perpindahan pemain
dari titik satu ke titik
dilakukan dengan tenang. Pergerakan
antarpemain dibatasi.
Sebaliknya dalam peristiwa kekacauan,
perpindahan para
pemain dapat dilangsungkan dengan
cepat.
• Fokus yang telah ditetapkan
pada pemain tertentu dalam
situasi tertentu harus didukung oleh
mobilitas pemain lainnya.
Artinya, gerak, posisi, dan ekspresi
pemain lain harus
menguatkan gerak, posisi, dan ekspresi
pemain yang menjadi
fokus. Jika intensitas gerak semua
pemain sama, maka fokus
tidak akan tercipta dan makna adegan
yang dimaksudkan
melalui laku aksi pemain yang menjadi
fokus menjadi kabur.
Hal ini mempengaruhi dinamika lakon
secara keseluruhan.
• Dinamika lakon mempengaruhi
pergerakan pemain di atas
pentas. Perubahan situasi dalam
jalinan peristiwa lakon harus
dibarengi dengan perubahan laku aksi
setiap pemain yang
terlibat di dalamnya. Oleh karena itu,
mobilitas pemain perlu
diatur dan disesuaikan dengan dinamika
laku lakon di atas
pentas.
• Pengaturan arah gerak
ditetapkan untuk mengatur pergerakan
dan perpindahan pemain secara teknis.
Dengan mengatur
arah gerak setiap pemain, laku aksi
menjadi kelihatan kaku
dan mekanis tetapi perpindahan pemain
menjadi teratur
sehingga setiap laku aksi dapat
ditangkap oleh mata
penonton.
Pengaturan mobilitas pemain seperti
tersebut di atas merupakan hal
penting yang harus dipahami oleh
sutradara. Tidak ada artinya seorang
143
pemain bermain dengan sangat baik jika
pola gerak dan perpindahan
pemain lain tidak mendukung. Dalam
teater, semua pemain, semua
peran memegang kedudukan yang sama
karena saling mendukung untuk
menciptakan harmoni lakon. Oleh karena
itu, mobilitas semua pemain
yang terlibat dalam pertunjukan harus
diatur dengan baik sehingga
makna lakon yang hendak disampaikan
dapat diterima dengan baik oleh
penonton dan pertunjukan berjalan
menarik.
6. Latihan-latihan
Sutradara membimbing para aktor selama
proses latihan. Untuk
mendapatkan hasil terbaik sutradara
harus mampu mengatur para aktor
mulai dari proses membaca naskah lakon
hingga sampai materi pentas
benar-benar siap untuk ditampilkan.
Kunci utama dari serangkaian latihan
adalah kerjasama antara sutradara dan
aktor serta kerjasama antaraktor.
Sutradara perlu menetapkan target yang
harus dicapai oleh aktor melalui
tahapan latihan yang dilakukan. Oleh
karena itu, penjadwalan latihan
perlu dibuat.
Tabel.1 Perencanaan
jadwal latihan
Dengan melaksanakan latihan sesuai
jadwal maka aktor dituntut
kedisiplinan untuk memenuhi target
capaian. Jadwal ini juga bisa
digunakan sebagai acuan kerja penata
artistik sehingga ketika sesi
latihan teknik dilangsungkan pekerjaan
mereka telah siap.
6.1 Membaca Teks
Tahap awal latihan teater adalah
membaca. Sutradara
membacakan naskah lakon secara
keseluruhan kepada aktor kemudian
menjelaskan maksud dari lakon
tersebut. Pada sesi ini aktor boleh
bertanya kepada sutradara hingga semua
menjadi jelas dan aktor
144
memahami maksud sutradara berkenaan
dengan isi lakon. Setelah itu
para aktor membaca lakon secara bersama
sesuai dengan karakter yang
akan diperankan.
Karakter tokoh yang ada dalam naskah
lakon tidak tampak hidup
jika tidak dibaca dengan pemahaman.
Yang dimaksud dengan
pemahaman di sini adalah “mengerti”.
Langkah pertama dalam
pemahaman adalah menangkap “apa”
maksud dari dialog karakter
tersebut. “Apa” merupakan kata kunci
pertama dalam menghayati
karakter. Banyak aktor yang hanya
mempelajari baris kalimatnya sendiri
dan secara instan mulai memutuskan,
“Bagaimana saya harus
melakukan dialog ini, bagaimana saya
harus mengatakannya?”. Tidak
seorangpun aktor dapat menjawab
“bagaimana” sebelum tahu “apa”
maksud dari lakon tersebut.
Menjelaskan detil maksud lakon yang
tertuang dalam dialog
karakter para tokohnya adalah tugas
bersama aktor dan sutradara. Jika
aktor kesulitan memahami maksud dialog
maka kewajiban sutradara
untuk menjelaskannya. Beberapa teknik
membaca seperti di bawah ini
dapat dilakukan untuk mendapatkan
maksud lakon secara detil;
• Membaca keseluruhan lakon
dengan pelan dan cermat
• Membaca per suku kata
dengan pelan dan teliti
• Membaca per kata dengan
pelan dan teliti
• Membaca teks sebagai teks
(tanpa mencoba mencari makna
kalimat) dengan pelan
• Membaca dengan
memperhatikan tanda baca dengan pelan
dan teliti
• Mencari hubungan antara
satu kata dengan kata lain, satu
kalimat dengan kalimat yang lain
• Membaca dengan pemahaman
• Menambah waktu khusus untuk
membaca naskah secara
mandiri
6.2 Menghapal
Kerja menghapal dimulai sesegera
mungkin setelah mendapatkan
naskah. Tidak perlu membayangkan blocking dalam
menghapal teks.
Latihan baris-baris dialog yang ada
dalam teks lakon bisa dilakukan
setiap hari. Semakin cepat dan tepat
dalam menghapal maka proses
kerja berikutnya menjadi semakin
mudah. Dalam satu proses latihan
sutradara berhak menetapkan target
hapalan untuk para aktornya. Target
sutradara ini akan memacu para aktor
untuk segera menghapal barisbaris
dialog yang menjadi tanggungjawabnya.
Untuk memudahkan kerja
menghapal beberapa teknik di bawah ini
dapat dilakukan:
• Membaca dialog secara keseluruhan
dan diulang-ulang
• Membaca bagian per bagian
secara berulang-ulang
145
• Membaca satu baris dialog
kemudian langsung dihapalkan
setelahnya diikuti baris dialog
selanjutnya
• Menemukan kata kunci atau
kata yang mudah diingat antara
dialog satu dengan yang lain
• Menggunakan tape recorder untuk merekam pembacaan
dialog
6.3. Merancang Blocking
Lalu lintas perpindahan gerak pemain
di atas pentas harus diatur
sedemikian rupa agar tidak terjadi
kekacauan. Sutradara perlu menata
blocking
pemain
untuk memberikan kejelasan gerak, arah gerak, serta
penekanan-penekanan terhadap tokoh
atau situasi tertentu. Rancangan
gambar blocking biasanya hanya
melukiskan garis besar perpindahan
posisi pemain dari titik satu ke titik
yang lain. Perpindahan ini akan
mempengaruhi posisi aktor yang lain.
Gambar 85, 86, 87, dan 88
memperlihatkan bagaimana cara
sutradara menggambarkan blocking
pemain.
Gb.85 Rancangan blocking 1
Gb.86 Rancangan blocking 2
146
Gb.87 Rancangan blocking 3
Gb.88 Rancangan blocking 4
6.4 Stop and Go
Stop
and Go adalah
proses latihan menghapal secara
keseluruhan atau per bagian. Di tengah
proses, sutradara menghentikan
sebentar (stop) dan memberikan penjelasan
atau arahan kemudian para
pemain mengulangi lagi adegan yang
sama (go) sesuai arahan
sutradara. Teknik ini sangat baik
dilakukan agar pemain tidak kehilangan
detil karakter yang diperankan
(penghayatan peran). Sutradara dituntut
ketelitiannya dalam proses ini karena
perubahan atau pembenahan yang
dilakukan akan mempengaruhi adegan
berikutnya. Beberapa hal yang
bisa dibenahi dalam proses latihan stop and go:
• Penghayatan karakter baik
melalui wicara ataupun ekspresi
• Blocking pemain
bersesuaian dengan properti atau pemain
lain
• Aksi dan reaksi di antara
pemain
• Teknik timming baik
dalam aksi individu atau kelompok
• Keselarasan adegan
147
6.5 Top-tail
Proses latihan top-tail dilakukan
untuk menghapal rancangan
blocking
yang telah
ditetapkan oleh sutradara. Selain itu juga digunakan
untuk mengingat kunci akhir satu
dialog dan awal dialog berikutnya atau
yang biasa disebut cue (kyu).
Para aktor mempraktekkan blocking yang
ditetapkan oleh sutradara dengan
mengucapkan baris awal dialog (top)
sebagai tanda mula dan mengucapkan
baris akhir dialog (tail) sebagai
tanda berubahnya blocking.
Latihan ini dilakukan berulang-ulang hingga
para aktor memahami desain blocking yang
telah ditentukan. Proses toptail
penting dilakukan terutama untuk
menyesuaikan tempat permainan,
dari studio latihan ke panggung atau
dari panggung satu ke panggung
lain. Perubahan ukuran tempat latihan
atau panggung pementasan akan
mempengaruhi blocking.
Oleh karena itu, setiap berada di tempat yang
baru perlu proses adaptasi dengan
latihan top-tail.
6.6 Run-through
Run-through
adalah
latihan hapalan naskah lakon secara
keseluruhan. Para aktor berlatih
memainkan peran dari awal sampai akhir
cerita tanpa menggunakan naskah (lepas
naskah). Dalam run-through
sutradara tidak menghentikan proses
latihan yang sedang dilakukan.
Arahan atau kritik diberikan setelah
latihan berakhir. Run-through tahap
pertama dapat dilakukan per bagian
atau per babak yang disebut sebagai
run-thorugh
kasar.
Tahap berikutnya dilakukan secara menyeluruh.
Dalam latihan ini yang dipentingkan
adalah hapalan dialog dan blocking
yang disesuaikan dengan ekspresi dan
emosi karakter peran. Hal-hal
yang perlu diperhatikan oleh sutradara
dalam proses ini adalah.
• Ketepatan dialog
• Irama
• Penghayatan peran
• Hubungan antara karakter
satu dengan yang lain
• Perpindahan adegan atau
babak berkaitan dengan dinamika
lakon
• Tensi dramatik
• Blocking pemain
• Kerjasama antarpemain
• Ketersampaian pesan
6.7 Latihan Teknik
Latihan teknik merupakan proses
pengenalan aktor dengan tata
panggung, busana, suara, cahaya dan
piranti (property) lainnya. Latihan
teknik biasanya dilakukan pada
hari-hari terakhir menjelang pertunjukan.
Hal ini dapat merusak keseluruhan
rancangan pertunjukan dan membuat
kerja menjadi sia-sia. Para aktor yang
sudah sekian lama berlatih peran
148
jika dibebani dengan hal-hal teknis
menjelang pementasan akan
mempengaruhi karakter peran. Akibat
yang paling fatal adalah karakter
yang telah lama dilatihkan justru
tidak bisa ditemukan karena beban
teknis. Oleh karena itu, lakukan
latihan teknik secara khusus paling tidak
seminggu sebelum pementasan dilakukan.
• Pertama adalah piranti
tangan (hand props). Segala hal yang
disentuh atau digunakan oleh aktor
harus segera mungkin
dilatihkan agar menjadi kebiasaan.
Misalnya, seorang aktor
harus menggunakan tongkat untuk
berjalan, maka segera
mungkin ia berlatih dengan tongkat
tersebut agar biasa
berjalan dengan tongkat, sehingga
perannya nampak wajar
dan tidak dibuat-buat. Hal ini berlaku
untuk piranti tangan lain,
seperti pedang, belati, tas jinjing,
pipa cangklong, dan lain
sebagainya.
• Kedua adalah tata panggung.
Meskipun tidak komplet, tetapi
latihan dengan tata panggung atau set
dekorasi perlu
dilakukan secara mendalam. Terutama
dengan benda-benda
yang akan digunakan atau disentuh oleh
aktor, misalnya kursi,
meja, pintu, vas bunga, lukisan
dinding, dan lain sebagainya.
Jika dalam proses latihan benda-benda
tersebut belum bisa
dihadirkan, maka bisa diganti dengan
benda lain yang
menyerupai.
• Ketiga adalah tata busana.
Latihan dengan busana ini sangat
bermanfaat bagi para aktor. Berlatih
dengan tata busana
idealnya dilakukan lebih awal, agar
aktor memiliki waktu yang
cukup untuk membiasakan diri dengan
busana tersebut.
Semakin sering aktor mengenakan busana
pentas, maka ia
akan merasa mengenakan pakaiannya
sendiri. Hal ini sangat
mempengaruhi laku peran, karena busana
dapat memberikan
kesan berbeda bagi pemakainya. Kesan
yang diharapkan
muncul melalui tata busana akan tampak
jika aktor telah
terbiasa mengenakannya.
• Keempat adalah tata lampu.
Jika piranti tangan, tata
panggung, dan tata busana telah dipenuhi,
maka berikutnya
adalah penyesuaian dengan tata lampu.
Lampu memiliki
karakter khusus karena cahaya yang
dihasilkan dapat
memberikan dimensi dan menambah hidup
suasana. Oleh
karena itu, penataan cahaya tidak bisa
dibarengkan dengan
latihan akting. Tata lampu
menyesuaikan dengan warna set,
busana, segala piranti yang ada di
panggung, dan suasana
yang dikehendai oleh sutradara.
Setelah semuanya terpasang,
barulah latihan akting dengan tata
lampu bisa dilaksanakan.
Dalam latihan ini, lampu menyesuaikan blocking dan
fokus
yang dikehendaki. Untuk mencapai hasil
maksimal, latihan
dengan tata lampu perlu dilakukan
berulang-ulang.
149
• Kelima adalah tata rias.
Tata rias harus menyesuaikan tata
lampu. Intensitas dan warna cahaya
dapat mempengaruhi tata
rias. Oleh karena itu, latihan dengan
tata rias dilakukan
setelah penataan lampu, karena
mengubah atau
menyesuaikan tata rias lebih mudah
daripada mengubah tata
lampu.
• Terakhir adalah tata suara.
Biasanya, aktor tidak
menggunakan mikrofon. Mereka berbicara
langung kepada
penonton. Tetapi dalam beberapa kasus
tata suara untuk
pemain diperlukan, misalnya ada pemain
yang menyanyi dan
menggunakan wireless mic di atas panggung, maka
pengaturan sound
system perlu
disesuaikan, demikian juga
dengan ilustrasi musik atau efek yang
ingin dihasilkan melalui
sound
system.
Proses penataan sound sytem membutuhkan
waktu tersendiri dan tidak berkaitan
langsung dengan latihan
akting.
Selain bersama dengan para aktor, akan
lebih baik jika disediakan waktu
khusus bagi para teknisi atau unsur
tata artistik untuk melakukan latihan
secara mandiri. Latihan ini merupakan
latihan teknik dalam arti
sesungguhnya dimana para kru memasang,
mengatur, dan
mengujicobakan piranti teknik sebelum
benar-benar digunakan. Penataan
panggung dan lampu hendaknya
mendapatkan waktu khusus karena
keduanya membutuhkan waktu penataan
dan penyesuaian yang lebih
lama dibanding unsur tata artistik
yang lain.
6.8 Dress Rehearsal
Setelah semua persyaratan untuk
pementasan dipenuhi, maka
dress
rehearsal atau
latihan secara lengkap dan menyeluruh dapat
dilakukan. Alasan utama untuk
menyelenggarakan dress rehearsal
adalah memberikan nuansa pementasan
yang sesungguhnya kepada
para aktor dan seluruh kru pendukung
teknik. Dengan demikian, semua
bisa mempelajari segala kekurangan dan
mengetahui hal-hal yang perlu
disesuaikan dan diperbaiki.
Umumnya proses ini dilakukan dua atau
bahkan tiga kali. Tahap
pertama dan yang kedua biasanya
disebut dengan istilah gladi kotor.
Pada tahap ini, komentar, kritik, dan
saran dapat diberikan baik dari
sutradara atau pengamat yang
dihadirkan. Seluruh pemain dan kru masih
memiliki waktu untuk memperbaikinya.
Akan tetapi, pada pelaksanaan
tahap akhir atau yang biasa disebut gladi bersih, pembenahan secara
teknis sudah tidak bisa lagi dikerjakan,
melainkan hal-hal kecil yang
berkaitan dengan pemahaman serta
semangat kebersamaan para
pemain dan kru bisa diperkuat.
Sutradara wajib memberikan catatan
lisan atau tertulis kepada
seluruh pemain dan kru setelah
melaksanakan dress rehearsal. Catatan
tersebut berfungsi sebagai:
150
• Bentuk dari dukungan dan
edukasi. Nasehat atau semangat
yang diberikan sutradara akan
mempengaruhi sikap para
pemain dan kru sehingga persoalan yang
ada bisa dihadapi
bersama.
• Pengingat bahwa masalah
bisa saja terjadi. Akan tetapi,
dengan saling memahami antara satu
dengan yang lain, hal
itu bisa diatasi. Misalnya, dalam dress rehearsal kru panggung
salah menempatkan kursi, maka pemain
bisa segera
mengatasi masalah tersebut secara
improvisasi tanpa
mengganggu konsentrasi aktingya.
Masalah ini selanjutnya
menjadi catatan kru agar tidak
terulang lagi.
• Penghargaan terhadap jerih
payah kerja yang telah dilakukan.
Dalam hal ini sutradara diperkenankan
memuji hasil kerja
seluruh pendukung sehingga semangat
kerja akan menjadi
lebih baik dan kualitas kerja menjadi
lebih sempurna.
Setelah melakukan dress rehearsal, maka seluruh pendukung
diperbolehkan untuk istirahat dan
menyipakan diri untuk menghadapi
pentas yang sesungguhnya. Hal ini
penting untuk mengembalikan energi
dan menenangkan pikiran. Tekanan kerja
yang terlalu berat justru tidak
akan menghasilkan produk yang
maksimal. Apalagi produk tersebut
adalah teater yang berkaitan langsung
dengan sisi psikologis manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar